Wednesday, 17 September 2014

Pemenang 1 Quiz #5: Si Gadis Jerapah

Oleh: Rinrin Indrianie




“Kau tahu, dulu Ibu langsing sekali,” ujar Ibu pelan, seolah berbincang pada dirinya sendiri.

“Ya, sudah sering kulihat foto Ibu waktu masih gadis,” jawabku malas.

“Teman-teman seringkali mengejek ibu dengan sebutan Si Gadis Jerapah.” Informasi ini sudah aku dengar untuk yang kelima ratus tujuh puluh sembilan kalinya! Dan tentu saja, aku adalah Si Gadis Jerapah junior, tapi aku menerimanya dengan lapang dada, dengan tidak sering-sering mengungkitnya seperti Ibu.

“Tapi Ayahmu tetap mengejar-ngejar Ibu.” Diam-diam, aku mendesah, sarapanku terasa membosankan.

“Mungkin itu karena Ibu juga terbilang cantik,” Ibu sedikit tergelak atas ucapannya tadi. Aku mengangguk enggan,

“Malah, dia pernah bilang, dia akan mencintai Si Gadis Jerapah ini sampai mati.” Kulihat siluet Ibu yang seperti tersenyum, menatap keluar jendela, seolah Ayah ada di sana.

“Manis sekali, Bu,” komentarku akhirnya. Setidaknya aku harus berterima kasih atas sepiring nasi goreng yang dibuatkan Ibu dengan mendengarkan ocehannya, bukan?

Aku kembali berfokus pada nasi goreng di piringku, kembali menatap layar ponsel di tangan kiriku, mencermati setiap twit, berharap pacarku menuliskan sebuah twit no mention yang akan membuat hariku lebih ceria. Ha ha! Merasa konyol akan pemikiranku sendiri, aku tersenyum, merasa malu.

“Ah,” seru Ibu saat melihatku tersenyum pada si ponsel. “Dulu ayahmu pun sering sekali menelepon Ibu.” Rupanya nostalgia Ibu masih berlanjut.

Aku kembali menyuap sesendok nasi, lantas mengunyah kerupuk dengan suara seberisik mungkin. Entahlah kenapa para orang tua itu selalu suka bernostalgia semacam demikian. Tidakkah mereka tahu masa lalu sudah berlalu dan tidak akan pernah mungkin kembali terulang? Tapi sepertinya kenangan punya keajaiban sendiri, untuk tetap memaksa hidup pada manusia-manusia yang menolak lupa. Seperti Ibu.

“Dulu kami belum memiliki ponsel seperti milikmu, maka Ayahmu akan menelepon ke rumah Ibu, setiap malam minggu, tepat pukul 7.” Lagi-lagi Ibu tersenyum, menatap keluar jendela, seolah Ayah ada di sana.

“Sayang sekali, Nak, Ayahmu….” Bahaya! Selalu ada adegan yang menakutkan setelah Ibu mengucapkan kalimat semacam ini. Aku tergesa meminum teh hangatku, mengakhiri episode sarapanku lebih cepat daripada seharusnya, dan mengendap pergi.

“Ayahmu selingkuh!” Jerit Ibu kesetanan.

Detik berikutnya entah panci entah kuali terpental ke lantai. Disusul gelas atau piring atau mangkuk yang tak berdaya menemui ajal. Bahkan kali ini Ibu melemparkan entah apa pada jendela yang tadi selalu ditatapnya, suara kacanya yang pecah berderai terdengar memilukan di telingaku.

Selanjutnya, hening yang seolah abadi.

Kuintip Ibu dari balik pintu dapur, rupanya perempuan itu kini terduduk tersedu di antara pecahan beling dan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Tak bisa tidak, aku menatapnya iba. Dialah Ibuku, yang dulu adalah Si Gadis Jerapah nan jelita, yang terlampau mencintai Ayah dengan cara yang tak biasa.

“Ibu terpaksa mengambil matanya, Nak, agar Ayahmu tak lagi melihat perempuan lain.” Aku mengangguk, mencoba tersenyum, lantas membantunya duduk di kursi.

“Jangan salahkan Ibu jika kemudian dia meninggal karena kebakaran itu, Nak.” Lagi, aku mengangguk. Detik berikutnya Ibu menangis, menangis, dan terus menangis. Mungkinkah itu adalah tangis penyesalan karena Ibu sendiri yang sengaja membuat rumah kami kebakaran waktu itu? Entahlah, aku tidak tahu.

Perempuan yang dulu adalah Si Gadis Jerapah nan jelita itu mungkin gila, tapi walau bagaimanapun, dia ibuku.

***

Note : 499 kata, untuk Prompt Quiz #5: Burning Giraffes and Telephone, lukisan sureal itu milik Salvador Dali

---
Cerita asli bisa dibaca di sini.

No comments:

Post a Comment

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *