Riga Attararya
Oleh Riga Attaraya
foto : otakbuku.com
27 Maret!
Akhirnya hari ini toko buku kecil ini resmi dibuka. Terbayar sudah perjuangan panjang kami untuk mendapatkan lokasi yang strategis, negosiasi yang alot dengan pemilik bangunan, sampai dengan perjanjian pasokan buku-buku terbaru dari beberapa penerbit lokal dan nasional.
“Akhirnya kesampian juga ya, Mas.” Mirana istriku tersenyum manis. Dia memakai pakaian rapi dan menanti di balik meja kasir. Sementara ini hanya aku dan Mirana yang menjaga toko ini.
“Mas, itu label diskon di rak nomor tiga agak miring. Tolong ya sayang.” Mirana berkata lagi. Aku sigap menuju rak yang dimaksud.
“Mir, sudah telepon radio untuk pasang iklan, kan?” kataku sambil merapikan buku-buku. Kulihat Mira mengangguk.
“Bagus. Setelah ini aku akan keluar toko untuk membagikan flyer.”
Membaca adalah hobi kami berdua. Kami begitu terpesona oleh deretan kata-kata yang melambungkan imajinasi menuju negeri-negeri tak bernama, tokoh-tokoh penuh wibawa, atau cerita yang membelalakkan mata. Sejak sepuluh tahun lalu kami berniat membuka toko buku. Kami ingin berbagi hal yang kami sukai kepada banyak orang. Berbagai rencana telah kami siapkan.
Tahun lalu aku dan Mira sepakat berhenti dari pekerjaan masing-masing dan menggunakan tabungan kami untuk memulai usaha ini.
Hari terus beranjak. Waktu berjalan tak dapat dihentikan. Sudah berjam-jam aku berdiri di depan toko, mengajak orang-orang yang lalu lalang untuk masuk, sekadar melihat-lihat. Syukur-syukur jika sekalian membeli. Sebagian tak memedulikanku, sebagian lain hanya berhenti sebentar, menatap ke dalam toko, mengernyit, lalu pergi.
Pasti ada yang salah dengan interior toko buku kami!
Setelah nyaris putus asa, akhirnya calon pelanggan tiba. Tak cuma seorang, melainkan tiga! Dua lelaki dan seorang perempuan muda memasuki toko. Aku bersorak dalam hati. Semoga mereka membeli buku.
“Silakan melihat-lihat, Mas dan Mbak.” Aku mencoba beramah tamah. Sedikit gugup sebab sikap mereka demikian tak acuh. Mirana beranjak dari balik kasir untuk membantuku meladeni mereka.
“Cari buku apa, Mas, Mbak?” tanya Mirana ramah. Tapi mereka tak menjawab. Aku mencoba bersabar. Kuamati penampilan mereka. Semua berpakaian serba hitam. Salah seorang lelaki memakai bandana hitam. Mereka saling berbisik.
“Benar, ada sesuatu di sini,” gumam si perempuan. Lelaki berbandana mengangkat sebelah tangan ke udara. Mau apa dia?
“Mereka ada di sini.” Komentarnya pendek. Apa maksudnya? Kami memang selalu di sini. Ini toko kami!
Lelaki lain berbicara. “Ada stasiun radio yang menerima telepon misterius. Penelepon mengaku tinggal di alamat ini. Padahal tempat ini sudah ditutup sejak kejadian perampokan sadis minggu lalu.
”Perampokan? Aku hendak bertanya, tapi tiba-tiba lelaki berbandana berbalik menuju ke arah kami!
“Siapapun kalian, pergilah. Tempat kalian bukan di sini lagi.
”Suaranya lembut terdengar.
Lho, toko ini milik kami!
"Kalian sudah mati. Pergilah.” Lelaki berbandana itu menegaskan.
A..apa? Su..sudah mati? Benarkah?
Lelaki berbandana merapal sesuatu.
Bibirnya komat-kamit lalu dia menjentikkan jari.
Sesuatu terjadi pada kami. Perlahan wajah cantik Mirana berubah. Rambutnya yang tadi diikat rapi kini tak beraturan. Wajahnya lebam. Dan dahinya.. dahinya berlubang!
Aku menatap diri sendiri. Tak lagi seperti tadi. Tubuhku kini penuh bekas luka. Di dada kiriku yang penuh darah menancap sebuah pisau!
“Mira…”
"Mas..”
Tidaaaaaakkkkk!
===============================
Postingan asli ada di sini.
Mengerikan!
ReplyDelete