Wednesday, 28 August 2013

Review Buku: Sketsa Terakhir

Apa yang menarik dari cinta? Bisa dibilang semua orang di dunia ini bersinggungan dengannya. Tak usah mencari kisah yang mendunia bak Romeo dan Juliet. Bahkan tiap hari pun kita melalui hari-hari dengan cinta, entah pada pasangan, teman, atau keluarga. Bahkan pada Tuhan.

Itu pula hal yang dicoba jual dalam novel Sketsa Terakhir. Berkisah tentang cinta seorang perempuan yang begitu tulus dan penuh perjuangan pada laki-laki yang tak mau menanggapi. Dengan balutan klasik perjalanan hidup yang dibumbui penyakit mematikan serta cinta dibungkus pertemanan. Saya langsung berpikir, apakah hal klasik selalu abadi? Apakah ada hal baru yang ditawarkan atau hal biasa-biasa saja yang disuguhkan? Tentu penghakiman saya bisa dimaklumi karena saya bukan penyuka kisah romance. Namun tak ada salahnya saya berbagi kesan atas novel ini.

Sketsa Terakhir memakai gaya penceritaan orang ketiga serba tahu dengan usaha mencoba menyamaratakan porsi untuk empat tokoh sentralnya yang saling dibelit cinta. Yaitu Drupadi, Tio, Martin, dan Rena. Ini terlihat dari duo penulis yang memberikan kesempatan bagi keempat tokoh untuk bercerita berdasarkan sudut pandangnya masing-masing.

Kisah sederhana dimulai dari Tio yang mencintai Rena sejak masuk SMA. Namun hingga lulus perguruan tinggi, Tio tak juga berani mengungkapkannya. Hingga Rena pun mengejar mimpi menjadi pelukis keluar negeri. Akibat merasa sepi, Tio pun melampiaskan cintanya pada Drupadi. Sayang, Drupadi membalas kesepian Tio dengan cinta yang dalam hingga mereka bertunangan. Namun, di tengah mereka, ada Martin yang terus menunggu cinta Drupadi untuknya.

Saya pikir dengan menyematkan nama Drupadi maka ada sedikit “unsur pewayangan” di dalamnya. Minimal, karakter Drupadi dalam kisah pewayangan nyangkut dalam diri Drupadi di Sketsa Terakhir. Mungkin memang disebut dalam salah satu percakapannya dengan Martin tetapi tak banyak berarti. Yah, ini kan sekedar ekspektasi saya.

Entah karena saya bukan pecinta novel romance, Sketsa Terakhir terasa datar dalam menyampaikan emosi maupun menunjukkan kekuatan karakter para tokohnya. Seakan ada sebuah masalah lalu selesai. Seperti orang yang mengendarai mobil di jalan bebas hambatan di hari kerja dan bukan di ibu kota. Lurus, datar, tanpa kesan mendalam. Saya tentu tidak menyalahkan plot cerita atau keklasikan kisah yang dipilih. Rasa-rasanya di Indonesia memang sudah umum sekali, perjuangan cinta dengan sedikit bumbu salah satu tokohnya sakit parah. Tetapi saya yakin tentu sebuah kisah cinta yang biasa saja bisa dibikin ciamik.

Bahkan saya yang bukan penyuka novel romance sanggup hanyut dan memberi acungan jempol pada Tetralogi Twilight, sebagai perbandingan. Mbak Meyer mampu membuat saya merasakan patah hatinya Bella waktu ditinggal Edward meski sementara. Juga ketika Jacob patah hati di hari pernikahan Bella dan Edward. Sampai saya tidak berani membaca ulang Twilight karena takut dengan mellow-nya. Saya pikir, beginilah seharusnya sebuah novel romance mampu membuat seorang yang kurang tertarik akhirnya bisa menjadi tertarik.

Tetapi duo penulis Sketsa Terakhir ini tentu tetap patut mendapat acungan jempol karena keberanian dan keberhasilannya menerbitkan karya perdana. Mereka merupakan alumni kelas menulis di Plot Point sekaligus binaan Clara Ng. Bagi pecinta kisah romance, novel ini bisa dijadikan bahan bacaan ringan.


Judul        :    Sketsa Terakhir
Penulis    :    Kei Larasati dan Vanny PN
Penyunting : Clara Ng
Cetakan    :    Pertama, Juni 2013
Tebal        :    221 halaman
Penerbit    :    PlotPoint Publishing

1 comment:

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *