foto: dokumentasi pribadi Nurul Noe
Jika cinta adalah jembatan yang menyatukan ibu dan anaknya, maka aku dan Ibu sedang meniti sebuah jembatan gantung yang berlumut dan lapuk. Hanya menunggu waktu. Kapan saja, jembatan itu bisa runtuh.
Tidak perlu kudeskripsikan seberapa rapuh hubunganku dan Ibu. Mungkin lebih buruk dari Dewi Gangga yang menenggelamkan ketujuh kakak Resi Bisma.
Ibuku adalah perempuan bodoh yang mudah terbuai janji manis. Atau memang murahan. Aku tidak tahu yang mana. Yang jelas, setidaknya ada empat laki-laki yang menolak menyebutku sebagai anak kandungnya.
Ibu tidak pernah merasa cukup berbuat dosa. Ia melacur pada siapa saja yang punya uang. Aku? Sebenarnya aku lebih memilih untuk tidak ada. Orang-orang berkata, menggugurkan kandungan itu menambah dosa. Tapi membiarkanku hidup dalam nestapa, bagiku sama sekali bukan berkah.
Baru saja Ibu pulang dengan tubuh sempoyongan. Dituntun seorang pria gemuk dengan perut tambun seperti pendulum. Melihatnya saja aku sudah tahu. Laki-laki itu tidak hanya moralnya yang rusak. Tapi juga hatinya.
“Pram, kamu sudah 17 tahun. Waktunya jadi laki-laki. Tuh, Silvi bisa dipake,” kata Ibu, sambil menunjuk seorang perempuan belia dengan rok mini yang tertunduk pasrah.
Aku mendengus pelan. Menyalakan sebatang rokok dan menenggak sebotol bir. Sedangkan Ibu dan teman laki-lakinya memasuki kamar.
“Berapa usiamu?” tanyaku pada Silvi sambil melirik dadanya yang mungil dan menyembul malu-malu.
“Lima belas.”
Aku menghembuskan asap rokok ke udara. Lalu bangkit dan meraih tangannya.
“Ayo. Kita jalan-jalan,” ujarku. Kuambil kunci rumah dan menutup pintunya dari luar.
“Silvi, ikuti gerakan Mas Pram.”
Silvi menoleh ke arahku dan menurut. Ia menempelkan ujung telapak tangan kanannya di pelipis kanan.
Bu, ini adalah penghormatan terakhirku untukmu.
Di malam yang gelap, aku berjalan tanpa arah bersama Silvi. Menuju sebuah hidup baru tanpa Ibu.
Ibu?
Ah. Jangan bilang-bilang. Puntung rokok tadi sudah kubuang di rumah. Di sebuah asbak yang dipenuhi kertas. Di samping botol bir yang isinya tumpah di atas meja.
---------------
Original Post ada di sini.
wowww, emang keren nih. layak nangkring di sini :)
ReplyDeleteMakasih, Mbak Na :")
Deleteiya bagus :D
ReplyDeleteTerima kasih banyak, Mbak Sri :")
DeleteTerima kasih banyak, Mbak-Mbak mimin yang baik :")
ReplyDeletewah... selamat ya. memang ceritanya bagus, gak sangka aja akhirnya seperti itu.
ReplyDeleteTerima kasih banyak :")
Deleteini keren banget :D mbaknya suka pewayangan ya? udah dua tulisan mbak yg ada ttg pewayangannya :D
ReplyDeleteIya hehehe
DeleteSoalnya lagi baca novel tentang wayang, sih :p
Terima kasih banyak ya :")