Monday 6 October 2014

Sharing : Perlukah Menyunting Karya yang Telah Dipublikasikan?



Selamat Kamis, Kawans....
Jadi begini, setelah menyelesaikan sebuah cerita dan mempublikasikannya di blog tentunya akan ada komentar yang masuk. Mungkin pujian, bisa jadi kritikan. Jika lebih banyak pujian, pasti senang dong. Tapi jika lebih banyak kritikan?

Lalu sebuah (atau beberapa) ide melintasi pikiran. Jika plot ditambahi ini, kalimat percakapan diubah, atau twist diganti jadi seperti ini pasti ceritanya jadi lebih keren. 
Tapi sebuah keraguan muncul : apa tidak lebih baik bikin cerita baru aja dan biarkan 'cerita buruk' menjadi kenangan?
Tapi, kalau hanya ada satu - dua lubang? ‘Ditambal' juga atau biarkan saja?
Kamu pilih yang mana?

Yuk, sharing :)


Vanda Kemala
Lebih seringnya pilih yang kedua, soalnya mending buat baru daripada harus "obrak-abrik" tulisan yang udah jadi, hehehe

Chocovanilla
Tergantung seberapa parah ide/kritik itu mengubah cerita. Kalau cuma mindahin twist sih mending perbaiki aja. Tapi kalau mengubah isi cerita/twist yaaa mending bikin baru hehehehe....*pengalaman pribadi*

Sari Widiarti
Pilih yang kedua, biar tahu di mana letak "kekurangannya", dan biar bisa ketawa - ketawa sendiri, kalau buka - buka tulisan lama, kadang - kadang juga pernah bilang begini,"ya ampuuun tulisan begini amat."

Ajen Angelina
Pilih yang keduaa... Biar banyak juga tulisan hihihi... Lagian tulisan buruk itu perlu biar nanti kalau sudah jadi penulis yang tulisannya wow ngga sombong lihat tulisan orang lain yang ngga wow.. Dalam hati bilang "been there, bro"

Anindita Hendra Puspitasari
Seringnya pilih yang kedua. Jadi waktu baca-baca tulisan lama, bisa nostalgia, tahu letak kesalahannya di mana aja. Soalnya kalau diobrak-abrik, jadi ngga sinkron dengan komentar di bawahnya. Terus bikin mikir lagi "ini kok bisa dikritik begini kenapa ya dulu?" *dasarnya pelupa*

Carolina Ratri
Aku lebih suka meninggalkannya apa adanya. Biar jadi catatan, kapan-kapan bisa dibaca lagi. Tapi di tulisan selanjutnya sih, biasanya udah langsung aku perhatikan tuh masukannya

Ahmad Abdul Mu'izz
Kedua. Males ngutak-atik cerita lama.

Rifki Jampang
Saya diamin aja... Yang lama seperti itu dan yang baru nggak dibuat juga

Dila Miftah
Hampir sama kayak mbak chocovanilla. Kalau ndak terlalu mengubah ide dasar cerita, masih bisa sedikit diedit. Kalau terlalu keluar jalur, ya biarlah si tulisan jadi kenangan saja. Hehehe. Bikin baru.

Nina Nur Arifah
Setuju sama mbak chocovanilla. Kalau ancur banget ya bikin baru. Etapi kritik kaya gimana nih? Kalau yang kesannya mengada-ada ya males... #eaaaa #ditendang

Lianny Hendrawati
Kalau tentang kesalahan tulis atau tanda baca ya kubenerin, selain itu biasanya kubiarkan saja.

Uni Dzalika
Aku kesatu, deh kayaknya. *ala-ala perfectionist gitu* Aku kadang bikin cerita dan memang ngga tahu letak salahnya di mana, jadi pas ada yang komentar, aku semangat buat ngebenerin.

Ariga Sanjaya
Kalau aku mirip sama uni dzalika. Males bikin cerita baru, sukanya poles-poles, biar kinclong (ceritanya)

Tara Orian
Saya yang pertamaaa... Karena:

1. Ide itu mahal harganya (dan susah dicari *uhuk*), juga saya percaya tidak ada ide yang buruk, hanya eksekusinya yang keliru. Jadi kalau eksekusi saya kurang mantap, berarti harus diperbaiki. 
2. Saya suka menimbun progress sheet, alias lembar kemajuan, jadi kalau ada revisi selalu save as, biar kelihatan saja apa yang sudah dipelajari dan agar tidak mengulang kesalahan yang sama *berasa lagu kerispatih *
3. Ini lebih ke sisi sentimental saya sebagai manusia, saya ingin semua karya yang saya buat bisa dinikmati publik, jadi harus diolah dengan semanis mungkin #kabuuuuurrr

Erlinda S W
Dibiarin tapi kritikan tetap jadi masukan

Manda Rizki Utami
Kalau kritiknya tentang kesalahan tanda baca atau eyd biasanya langsung aku edit, tapi kalau mengubah jalan cerita biasanya dibiarin, bikin baru. Biar ada jejak rekam *halagh

Saka Nadir
Karya yang banyak kritik belum tentu jelek.
Lihat dulu yang baca bisa baca apa nggak

Sulung Lahitani Mardinata
Karya yang banyak kritik belum tentu jelek.
Lihat dulu penulisnya. Rendah hati atau tidak? Bisa menerima kritikan/berpikiran terbuka atau tidak? Keras kepala dengan kesalahan yang dikritik pembaca atau tidak? Penulis yang tidak mau belajar dari kesalahan, yang tidak mau menerima kritikan, yang menganggap pembaca adalah kambing yang dungu, tidak akan maju. If you know what i mean.


Bagaimana dengan kamu? :)






No comments:

Post a Comment

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *