Thursday 16 June 2016

Karya Terpilih Prompt #119 : Semangkuk Sop Buah Tanda Cinta

oleh Zen Ashura

Bulan Ramadhan tak pernah semenyenangkan juga semembingungkan ini. Begitu menyenangkan sebab setelah bertahun-tahun bergelut dalam kemiskinan, akhirnya aku dan istriku mampu ber-shaum di dalam keadaan yang serba berkecukupan. Mau ini bisa, mau itu segera tersedia. Betapa nikmat buah hasil kerja keras kami kini terasa.

Teramat membingungkan karena, entah bagaimana caranya kumenjelaskan ini semua, istriku mulai berubah.

“Sampeyan ini kok ndak ngerti-ngerti sih, tole?”

Suara Ibu yang setengah gemas setengah geli terdengar dari ujung sana.

“Ngerti apa toh, Bu? Pusing Adam meladeninya,” keluhku pada ponsel yang menempel di pipi kanan.

“Ibu yang lama-lama pusing meladeni kepolosanmu, le. Sudah, ah! Ibu mau siap-siap dulu. Sampaikan salam dan terima kasih Ibu ke menantu kesayangan Ibu itu ya, le. Wassalamu’alaikum.”

Kujawab salam Ibu dengan setengah hati. Terang saja, belum sirna kegalauan ini, eh ditinggal begitu saja olehnya. Dan dalam kekalutan yang membuatku hampir depresi, kurasakan ponselku bergetar tanda masuknya sebuah pesan singkat

Dari Sita, istriku.

Mas, hari ini pulang cepat ya.

Masya Allah, akhirnya aku dirindukannya juga.

*

Ada satu hal sejak bertahun-tahun lalu yang sangat ingin kuberikan pada istriku, yaitu sop buah Pak Ewok. Sop buah yang terletak tak jauh dari kantor tempat kumengelola bisnisku itu entah sejak kapan kami idolakan.

Dulu, untuk membeli seporsi sop buah itu kami harus menyisihkan sebagian uang makan kami selama seminggu agar nanti di hari pertama kami berbuka puasa, kami dapat merasakan kemewahan yang tak bisa kami rasakan lagi selama dua sembilan hari sisanya. Yang sejatinya melulu teh manis hangat, atau sesekali ta’jil dari masjid terdekat.

Merasa kecil? Tentu tidak. Semua itu hanya membuat kami terbiasa berusaha sedikit lebih keras dibandingkan orang lain ketika kami menginginkan sesuatu.

Semangkuk kemewahan itu nantinya akan kami habiskan lamat-lamat, berusaha selama mungkin mengulur kenikmatan yang entah kapan bisa kami nikmati lagi.

Semangkuk sop buah itu juga bisa diartikan sebagai tanda cinta kami berdua.

Ia yang teramat menyukai melon, takkan menyentuh satu potong melon pun. Menurutnya, aku sebagai suami pantas mendapatkan yang terbaik. Dan melon lah tanda cintanya. Pun aku yang begitu menyukai apel, takkan menggugat sepotong apel pun agar ia dapat merasakan yang terbaik menurutku.

Sop buah itu adalah tanda cinta.

Dan kini, sop buah yang selalu jadi primadona kami itu, telah terhidang di hadapan kami berdua.

“Suka?”

Dengan penuh keenggan ia mengangguk, lalu samar-samar kudengar ia menghela napas, berat. Kupikir semua sudah kembali seperti sedia kala. Perubahannya… keanehannya… Namun kini jarak yang membentang di antara kami berdua semakin nyata. Jarak yang tak bisa disembuhkan bahkan oleh semangkuk sop buah tanda cinta.

“Kamu kenapa?”

Ragu-ragu, ia menyodorkan sebuah plastik pipih berbentuk persegi panjang dengan dua strip merah di salah satu ujungnya.

“Ka-kamu…?”

Tanpa berkata apa-apa ia kembali mengangguk.

“Alhamdulillah! Allahu Akbar! Sayang, kamu ngidam? Kamu mau apa? Bakso? Rendang? Melon? Apa saja yang kamu mau, pasti aku belikan,” seruku semringah, tak mampu membendung rasa bahagia.

Ternyata ‘ini’ toh yang membuat kamu bersikap aneh sejak berhari-hari lalu, istriku?

“Aku cuma ingin nanas, Mas. Yang banyak,” bisiknya getir, seraya tersenyum dingin.

*

Berdasarkan fiksimini karya Na Fatwaningrum Adianto:

BELUM INGIN. “Kamu ngidam apa? Bakso, rendang, manggis, apa saja yang kamu inginkan, pasti kubelikan,” sang suami sumringah. “Aku cuma ingin nanas, yang banyak ya!” Sita tersenyum dingin.

**
Baca juga karya teman lainnya, ya :)

1. Jampang - Perbedaan
2. Zen Ashura - Semangkuk Sop Buah Tanda Cinta
3. Nurkholil Setiawan - Sup Buah Favorit Kakak

No comments:

Post a Comment

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *