Oleh: ChocoVanilla
Kemarau ini terlalu panjang, menyalahi almanak yang sudah disuratkan jauh sebelumnya. Tanah kering menguarkan hawa panas, seolah ingin membakar segala yang menjejak padanya. Namun jika malam tiba, dingin akan turun dari langit, menembus segala yang berdaging hanya untuk membuat tulang terasa ngilu.
Aku menatap kedua cucu kembarku dengan sedih. Tubuh mereka begitu kering dan semakin melayu, seolah roh mereka enggan berada dalam tubuh. Belum lagi mereka tinggi dan besar, tapi maut sudah melayang-layang menyebarkan aroma kematian. Semestinya aku saja yang mati dan bukan mereka!
sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon
Kutembangkan megatruh* penuh perasaan. Jika memang mereka harus pergi, aku harus melepas meski tak sedikitpun rasa ikhlas.
“Mbah, kok nangis, ada apa?” tegur Cemplon, tetanggaku yang montok ginak-ginuk tetapi usilnya bukan kepalang. Aku diam saja, menghapus air mataku lalu membasuh cucu-cucuku dengan air dingin. Perempuan itu meletakkan keranjang cuciannya lalu mendekat.
“Kenapa itu Dhenok dan Bagus, Mbah? Kok … ?” tanyanya ingin tahu. Aku menggeser dudukku membelakanginya. Tanpa melihat, aku tahu Cemplon pasti mencibirkan bibirnya yang seperti sepasang lintah yang kekenyangan mengisap darah.
“Huh, ikhlasin saja, Mbah, kalo memang sudah mau mati ya biar mati,” gerutunya. Kurang ajar! Dia tidak tahu betapa aku sangat mencintai keduanya?
“Kalo ada hidup ya pasti ada mati, ada senang ada susah, itu namanya seimbang, Mbah! Kalau orang mau hidup sampai seribu tahun ya nanti malah jadinya nyusahin orang lain!” Ingin kusumpal mulutnya yang nyinyir itu dengan kutang yang sudah seminggu tidak kucuci. Tapi aku diam saja, menahan diri sambil terus membelai cucu kembarku yang tak berdaya.
“Simbah ini juga aneh, kerasukan apa sih, Mbah, kok sampai tergila-gila sama si kembar itu?”
Sungguh keterlaluan mulut Si Cemplon. “Si kembar itu”? Mereka cucuku! Berani-beraninya menyebut seolah-olah mereka ini tidak ada artinya!
“Memang sih, jarang-jarang ada kembar seperti Dhenok dan Bagus, satu badan dua pokok gitu. Wajarlah kalo umurnya pendek,” cerocosnya sambil menjemur baju-baju kumalnya. Aku sudah tak sabar. Kurogoh kutangku dari balik kebaya dan kutarik dengan paksa. Tertatih kuhampiri Cemplon lalu kusumpal mulutnya dengan kutangku.
“Hmmffpp ….”
“Jangan sekali-sekali kau hina cucu-cucuku!” geramku serak. Cemplon meronta lalu meludah berkali-kali ke tanah.
“Dasar orang tua sinting! Itu cuma wit kantil*! Kantil! Sarang kuntilanak! Gendeng*!” Cemplon masih marah-marah, sementara aku kembali ke halaman. Kusiram-siram kantil kembarku, reinkarnasi cucu kembar siamku dengan sayang. Sekali lagi kutembangkan megatruh penuh perasaan.
---------
Catatan:
1. megatruh: tembang jawa untuk melukiskan kesedihan yang mendalam, biasanya didendangkan tatkala manusia menjelang ajal dan melepaskan jasad atau wadag atau tubuh fananya.
2. ginak-ginuk: montok, bila jalan bergoyang-goyang
3. wit kantil: pohon cempaka putih, menurut mitos sering untung bersemayam kuntilanak (hiiiyy …)
4. simbah/mbah: nenek, sapaan/panggilan untuk nenek
5. gendeng: gila
Flashfiction asli bisa dilihat di sini.
Nggak bisa komen apa-apa. It's just delicious! :)))
Selamat, Mbak Choco. Data diri ditunggu via japri ke Miss Monday ya :D
Saturday, 8 August 2015
Karya Terpilih
Karya Terpilih 1 Prompt Quiz #7 - Kemarau pada Cucuku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment