oleh Gusti Hasta
Aku tak mengira hal mengerikan itu terjadi padaku.”
Kenapa aku bisa lupa kalau ada dia di sana, padahal sudah berkali-kali aku ingatkan diriku sendiri untuk tidak macam-macam dengan sudut ruangan itu. Sejak pertama kami mengunjungi rumah ini, ada hawa lain yang kurang menyenangkan di hatiku, tapi suamiku ngeyel untuk membeli rumah ini. Rumah ini dijual karena semua anggota keluarga sebelumnya sudah mapan dan memiliki rumah sendiri-sendiri. Salah satu permintaan si empunya rumah sebelumnya adalah untuk tidak merubah apapun di sudut kanan ruang keluarga. Tepat di dekat jendela, ada sebuah meja rias dengan kursinya dan sebuah lukisan seorang wanita. Mereka meminta agar tidak menggunakan meja dan kursi rias tersebut, hanya harus dibersihkan setiap pagi dan sore, harus.
Sayangnya, aku lupa membersihkannya sore tadi karena aku ada arisan PKK di balai RT, dan parahnya lagi, sebelum berangkat arisan, aku meninggalkan bedak dan lipstikku di meja rias itu. Aku benar-benar lupa dan tak henti-hentinya menyalahkan diriku sendiri. Aku lalai akan amanah yang sudah dititipkan padaku sebagai pemilik baru rumah ini. Tadinya aku pikir tidak akan ada masalah, toh ini rumah sudah menjadi milikku dan suamiku, tapi ternyata aku salah. Sepulang arisan maghrib tadi, aku mendapati kursi rias di ruang keluarga bergerak-gerak menggaduh dengan sendirinya dan kaca di meja rias berubah warna menjadi hitam. Iya, kursinya bergerak-gerak dengan sendirinya, semakin kencang dan semakin kencang gaduhnya. Tak ada orang lain di rumah selain aku, sementara suamiku belum pulang dari kantor. Aku tak tahu harus berbuat apa agar dia berhenti membuat kegaduhan dengan meja dan kursi rias itu. Aku sudah berusaha berbicara dengannya, namun dia tak mau kompromi.
“Ini sudah jam dua belas malam, dan suamiku juga belum pulang. Aku tahu aku lalai dengan amanah anak cucumu, tapi aku mohon mengertilah. Maafkan aku.” pintaku padanya.
Dia turun dari tempatnya selama ini, wanita di dalam lukisan itu menjelma dan mendekatiku. Selama ini, aku hanya melihatnya dari kejauhan, merias diri setiap pagi dan sore. Kali ini dia berada tepat di sampingku? Aku gemetar tak terkira, keringatku pun bercucuran. Dia semakin mendekat dan mendekat, tepat di telingaku dia berbisik
“Jangan macam-macam dengan sebuah amanah, apapun itu.”
Kemudian dia kembali ke dalam lukisan itu lagi.
cerita asli di SINI
Catatan bang Admin
Gusti Hasta membangun kengerian secara perlahan mulai alinea kedua. Tepat menjelang cerita berakhir, suasana horor sangat terasa. Sebaiknya kalimat terakhir dihilangkan untuk menjaga tingkat kengerian.
keren
ReplyDelete