oleh : Eksak
Kudengar langkah berkecipak dari tepi telaga tak beriak . Merangsek dari balik semak, menyeruak dalam gelap.
"Kau pulang, Yang?"
Tak ada nada kegembiraan dalam suara sapa itu. Membuatku tak ingin segera menjawabnya. Barangkali memang kepulanganku tak pernah diharapkannya.
"Bagaimana kau bisa pulang?" tanyanya lagi.
"Kabur," jawabku singkat.
Dia berjalan membelakangiku. Kemudian duduk di mulut gua tempat tinggalnya. Dialah Yin. Yin yang telah lama kutinggalkan. Yin yang sekarang tak menerima kehadiranku.
"Mencari gelap? Bukankah di tempatmu begitu terang benderang? Mewah? Banyak makanan enak? Kenapa kau pulang?"
"Memang benar semua yang engkau katakan, tapi aku ingin mencari cahaya kebebasan."
"Berangkat dari tempatmu yang terang? Mencari cahaya di tempat segelap ini? Bahkan seekor kunang-kunangpun tak akan pernah dapat kau jumpai lagi di sini!"
Aku terdiam. Langit bergemuruh. Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes mulai membasahi tubuhku. Lengket.
"Janganlah kau terlalu sering terkena air hujan itu, Yang. Masuklah! Aku menerimamu,"
Samar kupandangi tubuh Yin yang rapuh. Rambutnya rontok. Kulitnya pecah-pecah.
"Sesekali tak apalah, Yin. Lagipula lama aku di dalam ruangan, aku hampir tak mengenal hujan. Aku suka hujan."
Betapa senang hatiku, Yin menerimaku kembali. Sambil melihat ke langit yang hitam. Merasakan rezeki dari Tuhan. Walaupun telah dirusak.
"Kandungan sulfur di dalamnya sudah berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan ini sebanyak tujuh kali untuk mendapatkan tubuh seperti ini."
Yin berdiri dari tempat duduknya. Seperti mengibas tapi pelan, pecahan kulit matinya berjatuhan ke tanah.
"Kau tahu, Yang? Ketika yang lain diseleksi alam, hanya kaulah satu-satunya yang kumiliki sekarang. Bukan mereka! Makhluk perusak alam yang telah menyebabkan kegelapan ini. Berton-ton awan hitam menutupi cahaya matahari. Siapa lagi yang membuatnya kalau bukan mereka?"
Hanya aku? Betapa senang aku mendengar kata-kata itu. Hujan turun semakin deras. Tubuhku juga terasa semakin lengket. Kulihat Yin beranjak menghampiriku. Membasuh tubuhnya yang rapuh. Kusayangkan air hujan yang mengaliri sela-sela pecahan kulit di tubuh Yin. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya.
"Makanya aku pulang, Yin. Aku tak mau hidup bersama makhluk brutal bernama manusia."
"Aku senang kau kembali, Yang. Menyusuri jalan pulang walaupun gelap. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang,"
Yin menjeda kata-katanya. Kurasakan senyum kesakitan itu. Dia menepuk bahuku lemah, sebelum kemudian tubuhnya roboh membelah genangan air hujan di tanah.
"Yin .. bertahanlah, Yin ... "
Sekarang di mana lagi kucari cahaya firdaus? Aku tak mau lagi menjadi pemuas manusia-manusia rakus, yang senang merusak dan merekayasa siklus. Walaupun hanya menjadi pemain sirkus.
Dalam hitam gelap, aku mengaum senyap.
cerita asli di SINI
keren! pemilihan diksinya disuguhi dgn kata-kata yg beda dr yg lain :)
ReplyDelete