oleh Risa Nuraini
Pukul 10 malam. Seisi sekolah tertidur
sudah, seluruh siswa, guru, termasuk orang tua murid. Tak ingin
terlambat acara sahur bersama besok. Kecuali satu. Lelaki bertubuh
tinggi dengan rambut keperakan yang datang menemani anak(angkat)nya.
Entah keberanian darimana, ia kini meniti anak tangga menuju lantai
tiga.
Keheningan memenuhi lantai itu. Hanya
suara tapak kakinya yang terdengar. Berderap menyusuri lorong yang tidak
lagi asing. Memutar kembali memori puluhan tahun silam saat dirinya
mengenyam pendidikan di tempat ini. Dilihatnya satu-persatu loker yang
terdapat di sisi sebelah kanan.
664.
665.
666.
667.
Tunggu. 666. Loker yang terletak di sudut
kiri bawah. Lokernya dulu. Pusat seluruh penyesalannya yang tak kunjung
hilang. Pusat seluruh penderitaannya yang mungkin kekal. Tangannya kini
gemetar memutar kunci yang menggantung di sana.
Krrtt..
Loker itu berdecit. Bulu kuduknya
berdiri. Tubuhnya menegang. Tangannya dingin tertampar angin malam.
Di sana tampak dengan jelas genangan cairan pekat berwarna merah dengan
segumpal daging di dalamnya. Pemandangan yang sungguh tak pernah bisa
lepas dari ingatannya meski waktu terus berjalan.
Sedetik kemudian, suara wanita -yang selalu datang ke mimpinya- halus menyapa indra pendengarannya.
“Apa kabar sayang? Kamu mau menjenguk anak kita ya?” Bulu kuduknya mati sudah, tak sanggup berdiri.
cerita asli di SINI
*catatan : Dengan 'hanya' 189 kata, penulis berhasil membangun ketegangan dalam cerita dan 'menghantam' benak pembaca dengan puntiran akhir yang menohok. Keren!
No comments:
Post a Comment