sumber : deviantart
oleh Rizki Madfia.
Cahaya matahari telah surut. Lampu-lampu
mulai dinyalakan. Jalan Cemara masih ramai oleh manusia. Entah itu
melintas dengan mobil-mobil mereka atau dengan langkah kakinya. Hewan-hewan
liar tak bertuan juga ikut melintasi jalan ini.
Aku mematung di sisi jalan. Memperhatikan
mereka dari balik tudung hitamku. Lebih tepatnya memperhatikan angka-angka
berwarna merah yang menyala di atas ubun-ubun mereka. Angka yang menunjukkan
berapa lama lagi waktu yang tersisa bagi mereka untuk menarik napas.
Cahaya bulan memantul dari ujung sabitku.
Baru 100 tahun menjadi Penjagal, namun rasa bosan mulai menghinggapi. Apalagi
jika sedang tidak ada roh yang harus kupisahkan dari tubuh makhluk yang
membutuhkan udara untuk bernapas, seperti mereka itu. Ah, entahlah dengan Penjagal lainnya. Aku
tidak tahu dan tidak mau tahu apakah mereka juga merasa bosan dengan kehidupan
yang nyaris abadi, seperti yang kurasakan ini.
"Edo, apa kau tidak merasakan sesuatu
yang aneh? Tiba-tiba udara menjadi dingin saat kita melintasi kotak surat di
tepi jalan itu," Ran berkata sembari memegangi tengkuknya.
"Iya, Ran! Sepertinya, hawanya agak
berbeda. Sudahlah, tidak usah terlalu kita pikirkan."
Aku menyeringai memandangi mereka, sepasang
manusia yang baru saja berjalan melintasiku. Memang ada beberapa diantara
mereka yang bisa merasai aura dingin yang menguar dari tubuhku. Namun tidak ada
yang mampu melihat sosokku dengan jelas, kecuali waktu mereka telah habis dan
aku yang ditugasi menjemput roh mereka.
"Sayang sekali waktu mereka masih
banyak. Padahal aku tidak sabar untuk menghitung dan mengeluarkan nomor
baru!" Aku bergumam sendiri berusaha memecah kebosanan ini.
Siingg!!
Tiba-tiba ada nyala cahaya biru yang bersinar
tepat di depan wajahku. Cahaya itu kemudian memecah dan membentuk sebuah
tulisan.
"Aha! Akhirnya perintah tugasku datang.
Hmm, jadilah. Saatnya untuk memberi nomor baru!"
Kau tahu, sebenarnya kali ini aku berucap
sambil tersenyum senang. Namun hasilnya selalu sama seperti jika aku
menyeringai.
Itu dia! Makhluk yang disebutkan di dalam
perintah tugas tadi. Dia ingin menyebrang jalan rupanya. Angka merah yang
menyala di atas ubun-ubunnya terus berubah mengecil. Kedua bola matanya liar
mengawasi mobil-mobil yang melintas.
Makhluk itu kini telah menyebrangi separuh
jalan. Aku bersiap menyambutnya. Dan seperti yang lainnya, dia terlonjak kaget
ketika melihat sosokku. Bola matanya membulat. Aku menyeringai dan dia ingin
berbalik arah. Namun terlambat dan tentunya tidak ada yang bisa mencurangiku. Tepat
ketika itu sebuah mobil menyambarnya. Penumpang mobil tersebut tidak mau tahu
dan pergi begitu saja.
"Malangnya kamu, hai, makhluk
manis!"
Aku berucap sembari mendekati tubuh makhluk
itu. Kepala dan perutnya terkoyak. Sebagian organnya tercecer. Darahnya
menggenangi jalan. Makhluk itu sekarat dan matanya mengiba kepadaku.
"Baiklah. Saatnya kembali ke
Tuhanmu!" Aku melingkarkan lengkung sabitku di lehernya dan menarik rohnya
keluar. Tak lama roh makhluk itu telah berada di sampingku. Kuabaikan tubuh duniawinya
yang telah berantakan. Urusanku jelas, cuma dengan rohnya saja.
Kupandangi roh itu langsung ke dalam matanya.
"Kau, kuberi nomor 666666. Ayo, akan kuantarkan kau ke ruang tunggu!"
Roh tersebut balas menatapku. Bola matanya
riang, tak lagi ketakutan. Ekornya mengibas ke kiri dan kanan.
Ya, kali ini bukan manusia yang kudapat.
Namun kucing betina berbulu hitam legam ini, tidak terlalu buruk. Lumayan. Rasa
bosan ini cukup terobati.
---------
Komentar admin : Sejak awal penulis berhasil menciptakan narasi yang mengalir lancar. Sedikit sisi 'humanis' sang Penjagal ditampilkan melalui perasaan bosan. Memiliki kejutan yang -meski tipikal- menarik di akhir kisah. Poin plus lain adalah ide menggunakan semacam penanda di atas kepala para tokoh sebagai indikator sisa hidup.
cerita asli di sini
No comments:
Post a Comment