Friday, 4 April 2014

Setting / Latar Cerita dalam Fiksi



Setiap cerita selalu membutuhkan latar yang menjadi tempat ia hidup. Apa pun dan bagaimana pun latar itu diciptakan, entah itu nyata atau imainer dan fantasi, latar itu harus ada.

Latar bukan hanya lukisan tentang tempat. Bukan! Latar juga mencakup suasana emosi yang terbangun dalam tokoh-tokoh itu, karenanya latar bisa dibangun dengan model narasi dan dialog pula.

Dan ingat pula ini: lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan. Bukannya tak boleh membuat latar yang imajiner atau bahasa kerennya, fantasi. Toh Harry Potter sukses berat dengan bangunan latar yang imajiner ini. Tapi meski latar itu merupakan hasil khayalan kamu, usahakanlah tetap natural yang artinya adalah, LOGIS.

Misalnya, kalau malam ya gelap dong. Jika pun kamu membuat malam yang terang, sediakan alasan yang tepat dan masuk akal. Kemudian, kalau kamu membuat cerita dengan setting waktu di tahun 1945, ya pasti suasananya revolusi bukan teknologi. Saat itu belum ada BlackBerry, jadi jangan membuat cerita para tokohnya ngobrol lewat BBM.

Fiksi yang berhasil menyajikan latar dengan kuat, detail dan rigid, tentu akan memiliki kekuatan lebih. Sebuah novel yang berhasil menceritakan kota Manchester dengan detail, pasti alan memiliki kekuatan lebih. Bukan berarti kamu musti ke Manchester sendiri. Berdayakanlah Google. Kamu bisa melakukan riset mengenai setting cerita dengan semua artikel yang kamu tanyakan pada Mbak Google.

Tapi awas, jangan sampai terjebak menjadi reporter!

Artinya, kamu jangan sampai terlalu asyik menuturkan latar sampai-sampai kamu lupa bahwa kamu sedang menulis cerita, bukan berita. Ubahlah informasi nonfiksi menjadi fiksi, yang berarti berceritalah dengan gaya fiksi. Mau sedetail apapun kamu melukiskan latar, kamu harus selalu menceritakannya dalam bingkai cerita.

Lihat contoh berikut:

Al Shafwa Royale Orchid. Room 734. Dari kamar ini, pesona misterius Masjidil Haram begitu terang di depan mataku. Ya, begitu dekat! Aku hanya perlu waktu 5 menit untuk sampai ke depan Ka'bah. Turun lift dua kali, lalu di pintu keluar hotel sudah berjulang jelas bangunan dominan abu-abu berarsitektur Timur Tengah ini.

Selalu saja, seperti yang kali ini kukatakan pada istriku tanpa bosan, Masjidil Haram beda auranya dengan Masjid Nabawi. Jika Nabawi bernuansa anggun-elegan, Masjidil Haram kentak suasana misterius-mistik. Dia mengangguk, membenarkan: ah, senangnya memang punya istri yang nyaris selalu menyetujuiku untuk hal-hal yang tidak prinsipil.

"Kamu ngerasa kayak disambut bara tungku nggak setiap keluar pintu lobby hotel?"

"Iya, panas sekali, maklum suhunya sekarang sampai 47 derajat..." sahut istriku sambil sedikit menghempaskan napas.

Kujawil lengannya, "Lihat itu di pojok, dekat wanita berjubah hitam yang berjualan tasbih dan al-Quran itu. Anak tanggung di sebelahnya itu tangannya terpotong. Apa kena qishas ya?"

Istriku menoleh, lalu menepi sejenak saat rombongan besar jamaah dari Turki melintas membelah jalannya. Sebagian besar gundul. Seluruhnya tambun-tambun kayak timbunan lemak.

"Awas, minggir!" teriakku sambil menepikannya lagi.

Sebuah bus yang berkaca hitam berhenti di sebelahnya. Hafil, kubaca tulisan di body bus itu.

Bandingkan dengan yang ini.

Malam hari terasa masih terang saja di sekitaran Eiffel ini. Ada banyak sekali orang-orang yang berjualan segala macam merchandise khas Paris di sekitarnya. Anak-anak kecil juga banyak yang melintas, bermain-main di taman yang hijau membentang ini. Sebuah hotel bertuliskan Hilton berdiri gagah sekali. Di ujung barat taman yang mengitari Eiffel ini, ada sebuah gang kecil yang jika diikuti akan menuju ke sebuah perkampungan penduduk Paris kelas bawah. Suasana yang bertolak-belakang dengan jalan-jalan besar yang mengitari taman Eiffel ini, yang dipenuhi oleh mobil-mobil lalu-lalang tanpa terputus.

Eiffel memang memikat mata. Menjulang tinggi. Para pelancong tampak bersemangat semua untuk menaiki Eiffel dengan cara antri di depan lift itu.

Mana ya tokohnya? Alur ceritanya? Kok seperti membaca sebuah diary? Berita di koran?

Begitulah, sekali lagi penting dipahami bahwa sebuah karya bisa memiliki kekuatan plus jika mampu membangun latar dengan detail, tetapi tetap harus dalam bingkai cerita, baik melalui narasi maupun dialog.

~ bersambung ~

Dari Silabus Menulis Fiksi - Edi Akhilles

No comments:

Post a Comment

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *