Selain setting cerita, yang sudah kita sedikit bahas minggu lalu, tentu wajib hukumnya untuk ada tokoh-tokoh. Tokoh utama hingga tokoh pendukung. Semua tokoh ini harus diciptakan karakternya. Dari watak sampai kebiasaan harian, gaya berpakaian, gaya makan, hobi, semua aspek yang memungkinkan untuk menghidupkannya. Posisi peran setiap tokohnya harus terang dalam ceritamu. Itulah yang disebut penokohan.
Semua penokohan ini harus diciptakan oleh penulis secara konsisten dan logis. Kalaupun di bagian tengah atau akhir kok ada perubahan terhadap penokohan seorang tokoh, maka tetap harus ada penjelasan cerita yang logis yang menjadi sebab terjadinya perubahan karakter tokoh itu.
Misal tokohnya sedari awal diceritakan cewek penggila nongkrong di kafe. Di bagian tengah, cewek ini berubah style jadi cewek rumahan, maka harus ada jalinan cerita yang menguraikan secara logis sebab-sebab pemicu hal tersebut.
Logika tokoh juga mutlak diperhatikan. Masalah ini sering dijumpai lho.
Misalnya begini, tokoh adalah seorang anak SD kelas 4, tapi dialog-dialognya terasa begitu wise layaknya seorang pertapa usia 60 tahun. Ini nggak logis. Maka sesuaikan saja secara alamiah level setiap tokohmu dengan perannya, caranya berbicara, caranya beraktivitas, dan sebagainya.
Contoh lagi, seorang tante usia 48 tahun. Dia memang tinggal di Jakarta. Tapi dialognya dibuat seperti ini. "Ciyussss??" "Kepo ihhh..." atau "Beb, bobo cajalah yuk!"
Errr... Kecuali kalau ternyata ada jiwa anak remaja terperangkap dalam tubuh tante 48 tahun itu. Got it?
So, mau jadiin apa saja tokoh dalam ceritamu, silakan saja. Tapi ya harus memperhatikan kelogisan ceritanya. Konsisten, itu keharusan.
( bersambung )
-disadur dari Silabus Menulis Fiksi - Edi Akhiles-
No comments:
Post a Comment