Oleh: Aul Cooper
“Kamu sudah siap, Cinta?” ucap seorang wanita tua yang berdiri di sampingku.
Aku
bergeming. Kurasakan cairan hangat menetes dari sudut mataku. Tak pernah terbesit
sedikit pun sebuah keputusan yang sangat berat akan kulakukan saat ini. Semua kesalahan
akan menjadi tanggunganku.
“Tidak
dipikir-pikir dulu? Mungkin saat ini kamu sedang tidak stabil?” lanjutnya.
Mungkin
perkataan wanita tua ini benar. Pikiranku memang kacau. Ini semua gara-gara
kamu. Kamu yang masih betah bermain-main di ingatanku.
“Baiklah
kita mulai saja, ya?”
Aku memejamkan
mata. Mengenang kembali bagaimana waktu kita pertama kali bertemu. Pada waktu
itu aku membawa tumpukan buku hingga menutupi wajahku, kemudian tak sengaja kau
menabrakku. Buku-buku itu berhamburan
dan mata kita saling beradu pandang.
Terkadang
aneh juga, tatapan yang hanya beberapa detik itu mampu membuat tunas cinta itu
tumbuh, serupa tubuh yang mengakar, meskipun tanpa kata, hembusan nafas kita
mampu menggantikannya.
Dan
pada suatu malam yang dingin dan hujan, angin, debur dan emosi bersatu dalam
jubah berpautan. Tangan kita terikat, lidah kita menyatu, bibir kita berpagutan.
Kita tetap menari, merasakan kehangatan meski petir mengundang ngeri. Menari kembali,
cuma kita yang tahu.
“Kamu
tidak apa-apa, kan?”
Pandanganku
menyapu ruangan sempit tempatku terbaring. Aku sudah pasrah. Apapun yang akan
terjadi. Aku tak ingin mengingat malam itu lagi. Malam saat kau hisap maduku
dan pergi meninggalkanku begitu saja serupa barang yang sudah membuatmu bosan.
“Lakukan
saja. Aku siap,” jawabku lirih.
Dan
kini, tunas yang telah kau tanam dan mengakar di rahimku harus kubunuh.
Tulisan asli bisa dilihat di sini.
duh..........
ReplyDeleteAborsi ya...
ReplyDeleteahhhhh..... *jleb
ReplyDeletesaya suka idenya
ReplyDelete