Friday, 15 November 2013

Sharing : Penggunaan Bahasa Asing / Bahasa Daerah dalam Cerita

 Hai hai hai... selamat kamis, manis... *yang nggak manis, nggak hai*  Hari ini ikutan curhat yuk..

Kemarin ada yang menanyakan soal penggunaan bahasa daerah dalam cerita. Seberapa pentingnya sih? Lalu, sampai batas mana penggunaan tersebut masih bisa diterima? Apakah cukup satu-dua kata? Atau satu kalimat?

Berikutnya soal terjemahan dalam bahasa Indonesia. Apakah sebaiknya di sebelah kalimat bahasa daerah tersebut atau diberi catatan kaki?

Silakan pendapatnya...

Latree Manohara
Kalau masalah kalau sedikit saja. Kata-kata yang sangat khas, atau yang sulit dicarikan padanan yang pas di Bahasa Indonesia. Lebih baik diberi catatan di akhir cerita. Batasan sedikit itu misalnya paling banyak 10 kata dalam naskah sepanjang 1500 kata.

Carolina Ratri
Aku suka kalau dalam cerita banyak bau lokalnya. Jadi semacam ada pengetahuan baru. Tapi kalau kebanyakan sih juga jadi roaming. Aku juga suka pakai bahasa daerah kalau memang settingnya di daerah. Biar feel dan emosinya dapat. Tapi kalau percakapan ya seperlunya aja sih. Paling satu dua kalimat. Itupun di italic.
Aku juga pernah masukin lagu-lagu Jawa ke dalam cerita. Nah kalau itu kadang aku masukkan secara utuh. Terjemahannya kadang ditaruh di bawah masing-masing larik pakai tanda kurung, kadang  ditaruh di akhir. Kira-kira yang mana yang kalau metidaknggu sih. Cuma kalau lagu itu sebenarnya bukan jadi "inti" cerita. Jadi kalau ga ngerti bisa diskip, dan tetep dapet inti ceritanya. Fungsinya cuma untuk menambah emosi. Kadang pembaca yang kebetulan se-daerah bisa "terbawa"

Menentukan jumlah kata bahasa daerah dalam cerita? Pakai perasaan saja, nyaman atau tidak membacanya. Selain itu terjemahan ada di catatan kaki, jika catatan kakinya panjang, mungkin kebanyakan.

Dian Farida Ismyama
Langsung teringat  "Putri,Kesatria,dan Bintang Jatuhnya" Dee, catatan kakinya panjang-panjang. Memang sih istilah fisika, tapi malah kulewatkan membacanya.

Carolina Ratri
Nah. Aku sih tidak bisa bilang itu salah, jelek apa gimana. kembali ke selera. Toh ada yang suka juga. Tapi aku pribadi sih tidak nyaman aja baca hal yang aku terlalu roaming. Jadi kayak sekolah lagi . Beda dengan hal yang tidak dimengerti tapi bikin penasaran. nah, malah buka google buat cari tahu biasanya :))))

Rinrin Indrianie
Di novel “Kinanthi Terlahir Kembali”-nya Tasaro GK, beberapa kalimat dalam bahasa Jawa tidak dibuat catatan kaki, tapi diterangkan di kalimat setelahnya tanpa bikin bosan. Misalnya begini (ini kalimat saya sendiri ya, bukan nge-quote dari novelnya): "Wis mangan tah, Thi?" Aku terdiam. Makan? Kapan terakhir kali aku melakukannya?

Ranny Afandi
Mau bikin (cerita) bagus tak harus berbahasa asing kan. Dan sepertinya lebih enak dibaca kalau terjemahan bahasa daerah di belakang kata tersebut ya.. Kalau terjemahan di bawah capek deh bolak balik bacanya.

Mazmo Lombok
Pemakaian kosa kata bahasa daerah kalau saya tergantung setting. Terlebih pada dialog. Meskipun ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, tapi menurut saya, feel-nya akan lebih terasa jika tetap menggunakan bahasa daerah. Pengalaman saya menulis cerpen 13 halaman A4 spasi 1 (lupa jumlah katanya), ada sekitar 18 kosa kata bahasa Sasak. Menurut yang sudah baca, itu kebanyakan. Akhirnya saya siasati dengan langsung memberikan penjelasan di belakang kata tersebut.

Untuk terjemahan di belakang kata, ada untungnya juga. Buat pembaca, enak, buat penulisnya bisa lumayan nambah kata. Tapi, menjadi agak sulit ketika harus mengeklopkannya dengan kalimat agar pembaca tidak bosan/seolah-olah baca kamus bukan cerpen/novel. Perlu referensi teknik penulisan kosa kata bahasa daerah agar pembaca enak dan tidak bosan membacanya.

Supaya pintar, kan, kita harus belajar. Salah satu cara belajar dengan membaca. Kalau ada yang bersedia berbagi ilmu tentang hal ini, kan, enak. Kita bisa membacanya. Meskipun sebenarnya bisa otodidak juga, sih. Saat menulis, memerankan diri juga sebagai pembaca. Jadi, setidaknya bisa merasakan 'gangguan' penggunaan kosa kata bahasa daerah dalam tulisan kita.

Rinrin Indrianie
Menurutku, penggunaan bahasa daerah di fiksi itu penting. Biar bahasanya nggak hilang, dan lebih 'membumi'. Kalau bahasa asing rasanya mesti disesuaikan dengan karakter si tokoh. Kalau dia emang eksmud yang sering cas cis cus ngenglish di meeting, wajar kalau di dialog dia jadi sering ngomong bahasa Inggris.
Lupa siapa yang bilang/nulis kalimat ini, "60% pekerjaan menulis adalah membaca", jadi memang kalau mau nulis bagus harus berlatih membaca dengan 'benar'


Itu dia pendapat beberapa teman kamu mengenai penggunaan bahasa daerah dalam cerita. Kalau kamu punya pendapat apa mengenai hal ini? J

4 comments:

  1. menyimakk obrolannya yah mak :)

    ReplyDelete
  2. dan komenku masuk sebagai OOT *toyorkepalasendiri -__-

    ReplyDelete
  3. sharing kayak gini malah justru lebih mudeng ketimbang baca buku pelajaran :v

    ReplyDelete

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *