Blurb
“Nama gue Murio Laksamana, biasa dipanggil Rio. Seperti hari-hari kerja sebelumnya, gue selalu berangkat ke kantor dengan bus Trans Jakarta. Gue selalu naik dari halte yang sama, di jam yang sama. Tapi bukan berarti gue sampai di kantor pada jam yang sama.”
(Pribadi Prananta, It Will Find A Way Even In Busway)
“Aku tersenyum simpul mendengar pernyataan Katia, aku memang sebenci itu dengan Jakarta.”
(Falla Adinda, Katia)
“Kamu dan saudaramu itu, adalah penerus generasi Dewadaru dan Jayadaru. Tapi jangan lakukan kebodohan yang sama dengan mereka. Demi wanita, mereka mati sia-sia.”
(Mia Haryono, Kisah Terkubur di Bawah Beringin Kembar).
“Acara pernikahan kan sering sekali jadi ajang basa-basi kurang penting. Kalau tamu-tamu itu melihat kita datang berdua misalnya, pasti akan ada yang nanya, kalian kapan nyusul?”
(Faisal Reza, Pertama kalinya).
Mari mengupas kota lebih dalam, baik dari segi sejarah, tata kota, kebiasaan, alat transportasi, kuliner maupun mitosnya. Setiap orang dapat membedah kota secara personal. Setiap kota adalah tempat lahirnya jutaan cerita, entah itu peristiwa bahagia atau sedih. Kota menjadi makna yang lebih pribadi dan tersembunyi; cinta. Karena setiap kota merupakan kampung halaman bagi penjejaknya sehingga kota menjadi tempat seseorang mengguratkan sejarah, menjadi rahim kenangan.
Barangkali itulah yang coba disampaikan 11 penulis yang mengisi kumcer Jakarta – Bandung – Jogja. Dan saya sebagai pembaca berusaha menelisik cerita cinta ketiga kota tersebut. Setidaknya bayangan pertama saya tentang buku ini adalah penyatuan ikon-ikon atau pemaparan sudut-sudut kota dipadukan dengan kelahiran rasa yang melingkupinya.
Cover
Don’t judge a book by its cover. Itulah yang berulang saya rapalkan dalam hati, karena mau tak mau saya menilai cover buku ini sangat tidak menarik. Suram dan tidak jelas. Font komikal yang dipadukan dengan gambar-gambar siluet, menimbulkan kesan aneh. Untung saja ada siluet sepasang kekasih sedang bergenggaman tangan memberi sedikit gambaran bahwa buku ini bertema romansa.
Judul
Don’t judge a book by its title. Sekali lagi kalimat itu menjadi mantra yang ampuh buat saya mengambil sebuah buku untuk dibaca. Karena judul buku Jakarta – Bandung – Jogja ini sama sekali tidak menerbitkan selera saya. Judul buku yang terkesan tidak disiapkan dengan matang, seakan malas untuk mencari judul yang lebih seksi. Ah, dan satu lagi, kalau kota Jakarta dan Bandung dituliskan secara lengkap kenapa tidak dengan Jogja? Kenapa tidak Jogjakarta atau Yogyakarta (nama resmi kota tersebut)? Jadinya judulnya rancu.
Tanda Baca, Ejaan dan Penulisan Kata
Dalam buku ini bertebaran kesalahan tanda baca, ejaan dan penulisan kata. Membuat saya merasa terganggu. Biasanya jika kesalahan tanda baca, ejaan dan penulisan kata tidak terlalu banyak, saya akan mengabaikannya. Tapi maaf sekali, kesalahan yang terdapat dalam buku ini sudah melewati batas toleransi saya.
Misalnya:
… Dan bila ketawa ekspresinya ga nahan..hehehe (Hal. 3)
“Nama gue Murio Laksamana, biasa dipanggil Rio. Seperti hari-hari kerja sebelumnya, gue selalu berangkat ke kantor dengan bus Trans Jakarta. Gue selalu naik dari halte yang sama, di jam yang sama. Tapi bukan berarti gue sampai di kantor pada jam yang sama.”
(Pribadi Prananta, It Will Find A Way Even In Busway)
“Aku tersenyum simpul mendengar pernyataan Katia, aku memang sebenci itu dengan Jakarta.”
(Falla Adinda, Katia)
“Kamu dan saudaramu itu, adalah penerus generasi Dewadaru dan Jayadaru. Tapi jangan lakukan kebodohan yang sama dengan mereka. Demi wanita, mereka mati sia-sia.”
(Mia Haryono, Kisah Terkubur di Bawah Beringin Kembar).
“Acara pernikahan kan sering sekali jadi ajang basa-basi kurang penting. Kalau tamu-tamu itu melihat kita datang berdua misalnya, pasti akan ada yang nanya, kalian kapan nyusul?”
(Faisal Reza, Pertama kalinya).
Mari mengupas kota lebih dalam, baik dari segi sejarah, tata kota, kebiasaan, alat transportasi, kuliner maupun mitosnya. Setiap orang dapat membedah kota secara personal. Setiap kota adalah tempat lahirnya jutaan cerita, entah itu peristiwa bahagia atau sedih. Kota menjadi makna yang lebih pribadi dan tersembunyi; cinta. Karena setiap kota merupakan kampung halaman bagi penjejaknya sehingga kota menjadi tempat seseorang mengguratkan sejarah, menjadi rahim kenangan.
Barangkali itulah yang coba disampaikan 11 penulis yang mengisi kumcer Jakarta – Bandung – Jogja. Dan saya sebagai pembaca berusaha menelisik cerita cinta ketiga kota tersebut. Setidaknya bayangan pertama saya tentang buku ini adalah penyatuan ikon-ikon atau pemaparan sudut-sudut kota dipadukan dengan kelahiran rasa yang melingkupinya.
Cover
Don’t judge a book by its cover. Itulah yang berulang saya rapalkan dalam hati, karena mau tak mau saya menilai cover buku ini sangat tidak menarik. Suram dan tidak jelas. Font komikal yang dipadukan dengan gambar-gambar siluet, menimbulkan kesan aneh. Untung saja ada siluet sepasang kekasih sedang bergenggaman tangan memberi sedikit gambaran bahwa buku ini bertema romansa.
Judul
Don’t judge a book by its title. Sekali lagi kalimat itu menjadi mantra yang ampuh buat saya mengambil sebuah buku untuk dibaca. Karena judul buku Jakarta – Bandung – Jogja ini sama sekali tidak menerbitkan selera saya. Judul buku yang terkesan tidak disiapkan dengan matang, seakan malas untuk mencari judul yang lebih seksi. Ah, dan satu lagi, kalau kota Jakarta dan Bandung dituliskan secara lengkap kenapa tidak dengan Jogja? Kenapa tidak Jogjakarta atau Yogyakarta (nama resmi kota tersebut)? Jadinya judulnya rancu.
Tanda Baca, Ejaan dan Penulisan Kata
Dalam buku ini bertebaran kesalahan tanda baca, ejaan dan penulisan kata. Membuat saya merasa terganggu. Biasanya jika kesalahan tanda baca, ejaan dan penulisan kata tidak terlalu banyak, saya akan mengabaikannya. Tapi maaf sekali, kesalahan yang terdapat dalam buku ini sudah melewati batas toleransi saya.
Misalnya:
… Dan bila ketawa ekspresinya ga nahan..hehehe (Hal. 3)
Penggunaan tanda elipsis yang salah, dan di akhir kalimat tidak menggunakan titik. Kesalahan penggunaan tanda elipsis ini banyak sekali saya temui.
… orang-orang disana yang cenderung individualis yang seakan mampu untuk hidup sendiri. (Hal. 43)
“Aku memang baru tiga tahun disini ….” (Hal. 44)
Kata depan “di” yang merujuk suatu tempat harus dipisah.
Alangkah baiknya penulis maupun editor bekerja sama meminimalisir kesalahan dasar dalam penulisan, sehingga bisa memberikan edukasi pada pembaca.
Cerpen
Memang sulit membuat buku omnibus yang setiap cerpennya memiliki gaya bahasa dan karakter penulisan yang sama-sama matang atau setara. Dalam setiap kumpulan cerpen yang terdiri dari beberapa penulis, saya hampir selalu menemukan masalah tersebut, termasuk buku ini. Salah satu bukti nyata adalah dari jumlah halaman yang agak terlalu jauh perbedaannya. Ada yang dapat menyampaikan makna hanya dengan belasan halaman ada yang membutuhkan puluhan halaman, membuat cerita jadi melantur.
It Will Find A Way, Even in Busway – Pribadi Prananta (3/5*)
Murio naksir cewek yang sering ditemuinya di bus Trans Jakarta. Dia memberikan sebutan “Si Cewek Sepatu Boot” padanya. Meski sering bertemu, Murio tidak berani mengajak cewek itu kenalan, hingga suatu hari, dia berkenalan dengan cewek lain bernama Sella karena sebuah accident di dalam bus. Sella berjanji akan membantu Murio agar bisa berkenalan dengan Cewek Sepatu Boot.
Bahasa cerpen ini sederhana, lugas, ngepop, lucu, dan romantis. Cerpen ini menjadi istimewa karena mengangkat tentang salah satu model transportasi populer di Jakarta. Karena saya bukan orang Jakarta dan kalau kebetulan ke sana malas memakai kendaraan umum, maka informasi-informasi dalam cerpen ini cukup menarik. Seperti:
1. Kebiasaan orang yang suka naik bus Trans Jakarta (hal.2),
2. Tentang bau badan yang mengganggu penumpang lain (hal 8-12),
3. Jalur antrean penumpang (hal.13)
Sayangnya, cerpen ini panjang banget sampai empat puluhan halaman, sehingga agak kehilangan fokusnya.
Katia – Falla Adinda (2/5*)
Rizky jatuh cinta pada hujan, kota Bandung dan Katia. Walaupun akhirnya hubungan antara Rizky dan Katia harus putus, Rizky tidak bisa melupakannya. Jakarta, kota yang dibenci Rizky karena mempertemukan mereka kembali.
Penyebutan ‘Aa’ dan ‘Eneng’ bagi sepasang kekasih dalam cerpen ini membuat rasanya jadi Bandung banget. Penyebutan yang kini jarang ditemukan lagi.
Beberapa tempat yang merupakan ikon Bandung turut disebutkan seperti Dago Pakar. Namun penulis tidak mengeksplor tempat-tempat itu sehingga kurang menjadi kekayaan khazanah pembacanya. Selain itu, cerpen ini menurut saya merupakan tipe yang akan mudah dilupakan tidak seperti hujan di Bandung yang memberi pesan atau pertanda,
Kisah Terkubur di Bawah Beringin Kembar – Mia Haryono (2/5*)
Dewadaru dan Jayadaru adalah anak kembar yang saling bersaing untuk menjadi juara mempermainkan cewek. Sampai akhirnya mereka mengira menyukai cewek yang sama.
Legenda beringin kembar yang diangkat dalam cerpen ini merupakan ikon kota Yogyakarta. Siapa yang tidak tahu beringin kembar itu? Tapi apa semua orang tahu makna kearifan lokal tersebut? Saya juga baru tahu berkat cerpen ini.
Cerpen ini kurang rapi dalam penyajian konfliknya. Saya adalah anak kembar yang tahu bagaimana rasanya bersaing dengan kembaran sendiri. Sehingga saya menemukan lubang dalam cerpen ini. Penulis tidak begitu mengerti dunia anak kembar. Misalnya pada adegan pertemuan Dewadaru dan Jayadaru di restoran yang sama untuk menjumpai kekasih mereka. Tanpa menanyakan siapa nama cewek yang mereka tunggu, Jayadaru menghantam Dewadaru. Diikuti dengan adegan mati suri (hal. 66). Ceritanya seperti dalam sinetron. Twist ending-nya pun seakan dipaksakan.
Pendaratan yang Tak Sempurna – Dwika Putra (4/5*)
Dika diputuskan Callista seminggu sebelum hari pernikahan mereka. Dengan hati yang sakit, Dika mengais kembali kenangan di kota Yogyakarta, kampung halaman Callista.
Cerpen ini menggambarkan ikon kota Yogyakarta cukup detail, diberi ruh, dan tidak membosankan. Cerpen yang menyentuh karena menggambarkan bagaimana sebuah kota bisa menjelma ribuan kunang-kunang atau menjadi goa gelap gulita.
Ada satu quotes cantik yang saya suka sekali:
Cinta bukanlah tentang siapa yang lebih dahulu mendapatkan, tetapi tentang siapa yang paling mampu mempertahankan (hal. 95).
Aku Hanya Ingin Membuatmu Bahagia – Boy Farabian (2/5*)
Kisah cinta David dan Frisca di kota Jakarta. David yang dibesarkan ibunya sebagai single parent berusaha mendampingi Frisca ketika orang tuanya akan bercerai. Setelah selesai proses perceraian itu, ibu Frisca didekati oleh seorang cowok. Naas, cowok itu meninggalkannya pada hari pernikahan.
Cerpen ini menggunakan POV 1. Saya merasa tokoh "aku" diperankan oleh cowok, digambarkan terlalu cerewet, padahal penulisnya juga cowok. Gaya bahasanya kurang mengalir sehingga tidak enak dibaca.
Ada paragraf yang ganjil.
Pada suatu hari, sikap Frisca berubah 180 derajat … (hal. 101).
Penggunaan ‘pada suatu hari’ tidaklah tepat karena kejadin perubahan sikap Frisca terjadi antara tenggang waktu kemarin dan hari ini. Sebaiknya kalimat itu dihilangkan saja.
Cerpen ini memiliki timeline yang panjang, memangkat begitu banyak peristiwa jadinya tidak fokus, rasa yang ditawarkan seperti tulisan dalam diary. Untuk cerpen cukuplah satu atau dua fokus peristiwa aja.
Sepanjang Jalan Layang – Ch. Evaliana (3/5*)
Sasti baru saja bergabung dengan teater di kampusnya. Sasti kemudian mengikuti proses pertunjukan teater tersebut. Dari sanalah dia berkenalan dengan Rafa. Cowok itu kerap kali menjemput dan mengantarnya setiap hari. Mereka berdua selalu melewati jalan layang Pasopati, Bandung.
Cerpen ini mengangkat ikon Bandung terkini yaitu jalan layang. Diterangkan bahwa jumlah cable stayed ada sembilan belas buah dengan alasan-alasannya (hal. 126).
Cerpen ini diperkaya dengan istilah-istilah teater dan bagaimana proses membuat sebuah pertunjukan. Misalnya, seorang aktor harus bisa melakukan teknik vocal berbisik namun tetap terdengar oleh penonton yang berada paling belakang (hal. 113).
Di Perbatasan – Grahita Primasari (4/5*)
Perjalanan sepasang kekasih melewati jalan tol Cipularang.yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Cerpen ini mengangkat mitos patung singa di Cipularang, sejarah pembuatannya dan bagaimana seharusnya sikap dalam menggunakan jalan tersebut. Alur yang dipakai adalah alur maju – mundur, sehingga pembaca dibuat penasaran dan berusaha memecahkan teka-teki sederhana dalam cerpen. Setting tempat dan kurun waktu yang hanya beberapa jam menguatkan cerpen ini, diikuti dengan twist yang sangat pas.
Ah! Itu kan Cuma Takhayul… - Khairina Diar (2/5*)
Dimas percaya jika dia mengajak pasangannya ke kafe bernama Burger & Grill di Jakarta, maka tidak lama setelah kembali dari kafe tersebut, mereka akan putus.
Lagi-lagi cerpen dengan POV 1 dengan tokoh cowok yang terlalu cerewet, tidak pas.
Kesengajaan yang Tidak Disengaja – Ariev Rahman (4/5*)
Renata sudah tidak tahan berhubungan dengan Raymond. Raymond berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan cara mengancam akan bunuh diri. Sebagai permintaan terakhir, Raymond mengajak Renata untuk keliling kota Jakarta. Di sisi lain, Renata dekat dengan Wisnu, rekan kerjanya.
Cerpen ini ringan, kocak, dan mengalir. Mengajak pembaca untuk menertawakan peristiwa mengerikan sebagai sesuatu yang lucu, satir. Bahkan ketika cerpen ini menghadirkan sad ending masih terasa menggelikan. Yang menganggap diancam bunuh diri oleh pacarnya bukan kejadian mengerikan harus mencobanya sendiri!
Cerpen ini juga mengajak kita berjalan-jalan ke tempat-tempat di Jakarta, seperti Kedai Soto Kudus di jalan Sabang, taman Suropati, dan jembatan Semanggi.
Satu hal yang ganjil dalam cerpen ini terdapat di halaman 181- 182, dimana satu paragraf yang masih bersatu dengan paragraf di bawahnya dipisahkan dengan bintang tiga. Untuk apa? Bintang tiga dipakai untuk memisahkan adegan yang terpotong atau melompat. Penggunaan bintang tiga pada dua halaman tersebut persis seperti tayangan film yang sedang mencapai klimaks dipotong oleh iklan.
Yang Tuhan Kabulkan – Chacha Thaib (1/5*)
Kiran memutuskan untuk magang di radio Bandung. Selain untuk menyembuhkan patah hatinya, Kiran punya agenda lain yaitu menemui Aria, cowok yang hilang tiga tahun lalu. Diam-diam cowok itu masih terus mengisi hatinya.
Cerpen ini bercerita datar, konflik dan karakternya, dan tidak menyentuh ikon Bandung. Ada banyak radio di Bandung, kenapa memilih radio tersebut? Apa istimewanya? Penulis tidak mengeksplorasi alasan tersebut.
Cerpen ini juga kurang asik karena berlama-lama di bagian pembukaan karakter sehingga tidak mencapai klimaks. Padahal kalau penulis fokus pada bagaimana Kiran dan Aria bisa menjadi dekat kembali, ceritanya akan lebih utuh. Penulis seperti tergesa-gesa menutup cerita. Kisah cinta tokoh pun tidak meninggalkan kesan romantis.
Pertama kalinya – Faizal Reza (3/5*)
Cinta Cesa dan Naya terhalang perbedaan agama. Mana yang harus mereka pilih, keyakinan atau cinta?
Ceritanya cukup menyentuh. Isu perbedaan agama yang sensitif ini memang selalu menarik untuk dikupas meski seperti kata cerpen ini, cerita yang seperti ini baiknya diakhiri dengan tak memberi solusi dan kompromis.
Setting yang diambil adalah trotoar Thamrin dan daerah lapangan Banteng. Di daerah lapangan Banteng inilah bangunan gereja dan mesjid berdiri berdekatan. Barangkali cerpen ini ingin memberi pesan bahwa cinta yang berbeda agama seperti kedua bangunan tersebut, hanya bisa berdampingan tanpa bersentuhan.
Judul : Jakarta Bandung Jogja Buku Bestseller
No. ISBN : 9786027618206
Penulis : CH.Evaliana,Falla Adinda, Boy Farabian, Chacha Thaib, Faisal Reza,
Khairina Diar, Mia Mia Haryono,G
Penerbit : Kurniaesa
Terbit : Mei - 2013
Jumlah Hal. : 228
Jenis Cover : Soft cover
No. ISBN : 9786027618206
Penulis : CH.Evaliana,Falla Adinda, Boy Farabian, Chacha Thaib, Faisal Reza,
Khairina Diar, Mia Mia Haryono,G
Penerbit : Kurniaesa
Terbit : Mei - 2013
Jumlah Hal. : 228
Jenis Cover : Soft cover
Reviewer: Evi Sri Rezeki
No comments:
Post a Comment