Ketika pertama kali
menonton trilogi The Lord of The Ring (LOTR), saya terpesona dengan dunia
ciptaan J.R.R Tolkien. Ia menciptakan kisah petualangan yang seru melibatkan
bangsa hobbit, bangsa kurcaci, bangsa elf, bangsa manusia, penyihir, orc, warg,
bahkan Gollum. Digambarkan kehidupan yang suram yang dilakoni Gollum seorang
diri hingga ia tidak mengenal bilangan waktu. Saking kesepiannya, sampai-sampai
Gollum selalu bicara pada dirinya sendiri seakan ia dua orang yang berbeda.
Salah
satu penyihir yang termahsyur dan menjadi lakon dalam trilogi ini, Gandalf,
digambarkan bijak dan selalu menolong kubu protagonis pada waktu yang tepat.
Gambaran ini tidak berbeda jauh dalam buku The Hobbit. Namun,
buku The Hobbitmenggambarkan tokoh Gandalf lebih manusiawi.
Alkisah, seorang hobbit yang hidup makmur dan tenang bernama Bilbo Baggins yang
tinggal dalam liang mewah di Bag End mendapat kunjungan tak terduga dari
seorang penyihir ternama. Ketidaktahuan Bilbo membuatnya bersikap sedikit acuh
dan cederung tidak suka. Ia keberatan dengan permintaan si penyihir untuk ikut
dalam sebuah petualangan. Bagi bangsa hobbit, petualangan hanya membuat mereka
terlambat makan malam. Petualangan bukanlah hal yang menyenangkan.
Ternyata tolakannya tidak mengendurkan niat sang penyihir Gandalf untuk
membawanya ikut serta. Tanpa sepengetahuan Bilbo, Gandalf menorehkan sebuah
tanda di pintu rumah si hobbit. Tanda itulah yang menjadi cikal bakal kesulitan
yang dialami Bilbo. Keesokannya ia mengalami keterkejutan mendapati rumahnya
didatangi tiga belas kurcaci dan seorang penyihir yang menganggapnya si ahli
mencuri yang meminta jasanya pergi ke Gunung Sunyi!
Kesan pertama saya tentang buku The Hobbit jauh berbeda dengan
trilogi LOTR. Saya pikir begitulah isi buku Tolkien, tak beda jauh dengan
penggambaran yang ada dalam film LOTR−meski saya belum pernah menonton
film The Hobbit. Bayangan saya tentang Gandalf yang bijaksana nan
sempurna pun lenyap. Gandalf diceritakan seorang yang ekspresif seperti
kebanyakan tokoh lainnya dalam buku ini. Ia juga suka berseru, suka makanan
yang enak lagi banyak, dan suka mengisap pipa untuk bersantai. Tak beda jauh
dengan para kurcaci meski bangsa kurcaci lebih emosional dan mudah berubah
pikirannya.
Petualangan yang dialami Bilbo berkali-kali membuatnya menyesali keputusan ikut
dalam rombongan kurcaci. Namun ketika petualangan itu berakhir, tak
henti-hentinya pula ia berpikir betapa bagusnya pengalaman yang ia dapatkan
selama perjalanan tersebut. Meski berulang kali para kurcaci yang mendapatkan
bantuannya mengucapkan terima kasih dan menjanjikan pelayan untuknya hingga
keturunannya yang kedua puluh tujuh, tak bosan pula para kurcaci mencemooh
tindakannya sepanjang perjalanan. Namun Bilbo tetap dapat berpikir jernih walau
di antara para kurcaci ia termasuk paling muda. Hanya saja ia mudah goyah bila
teringat gudang makanannya di Bag End.
Bila bangsa elf (peri) dalam LOTR terlihat sangat anggun dan lembut, buku The
Hobbit menunjukkan sisi lain bangsa peri yang penuh curiga. Rombongan
para kurcaci dan Bilbo sendiri sempat terlibat kesalapahaman dengan bangsa
peri. Mereka dituduh menganggu pesta rakyat Kerajaan Peri Hutan hingga harus
disel dalam gue yang gelap.
Bangsa orc tidak muncul dan hanya disebut satu kali sepanjang kisah.
Sebaliknya, bangsa goblin dan warg banyak ambil bagian. Gollum pun tampil dan
hampir membunuh Bilbo. Di sini, Gollum terlihat lebih menyeramkan dan cerdik.
Satu hal lainnya yang membuat saya kagum dengan gaya menulis Tolkien. ia banyak
menggunakan tanda seru baik dalam percakapan antartokoh, ketika tokoh bicara
dalam kepalanya sendiri, maupun ketika menjelaskan sesuatu. Terasa sekali
Tolkien menceritakan dengan ekspresif dan penuh semangat. Ia benar-benar
memposisikan diri sebagai seorang pendongeng. Dengan sudut pandang serba tahu,
ia seakan mengajak pembaca bukunya berinteraksi seperti berkata, “ah, ya,
sampai dimana kita tadi,” atau “seperti yang sudah diceritakan sebelumnya”. Ia
salah satu penulis sekaligus pendongeng yang saya kagumi, tentunya selain Ahmad
Tohari. Atas kemahirannya mendongeng, Tolkien membuat saya ingin segera membaca
buku ini lagi.
*ditulis ulang dari blog reviewer : Erlinda Sukmasari Warsito
Judul :
The Hobbit
Penulis :
J.R.R Tolkien
Alih Bahasa :
A. Adiwiyoto
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke :
Delapan, Januari 2013
Tebal :
352 halaman
No comments:
Post a Comment