Setahun lalu.
“Rim…”
“Hmm?”
“Aku ingin jadi orang kaya. Biar hidup kita ga susah terus kayak sekarang. Biar Mbah Mis ga usah jualan lagi. Biar…”
“Sudahlah Net…” Rim memotong khayalan Net cepat. Tentu saja dia memiliki impian yang sama, tapi terkadang harapan yang tak mungkin hanya menyisakan sakit hati. “Sana kamu sekolah.” ujar Rim lagi seraya menyiapkan sayuran rebus ke meja pajang. Warung gado-gado dan rujak Mbah Mis sudah harus siap sebelum dia bekerja menjadi buruh pabrik di kota tetangga.
“Kenapa Rim?” Mbah Mis muncul tepat setelah Net pergi. “Dia perlu uang untuk beli buku lagi?”
“Ngga kok Mbah, cuma ngobrol biasa aja.” Rim memilih berbohong, tak perlu memberi tambahan beban bagi nenek yang telah menjadi ibu dan ayah bagi Rim dan Net itu. “Mbah kapan mau berhenti jualan? Gaji Rim InsyaALLAH cukup Mbah…” Kembali, Rim membujuk Mbah Mis.
“Mbah masih kuat, Rim.” jawabnya seraya cekatan memotong bengkuang. “Lagipula Mbah kepengen liat si Net kuliah tahun depan, biar dia bisa kerja kantoran, ngga capek kayak kamu…”
Rim hanya mampu tertunduk mendengar jawaban Mbah Mis. Tapi hatinya berjanji, dia yang akan membiayai kuliah Net, dan Mbah Mis tak perlu lagi mencari uang di hari tuanya.
***
Hari ini, beberapa saat menjelang shubuh.
“Ada apa Net? Kenapa? Itu apa?” Mbah Mis akhirnya terbangun, dan heran melihat sebuah buntalan kecil yang dipegang Net.
“Ini… ini mayat bayi Rim, mbah.”
“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya. Kini Mbah Mis telah sadar secara purna. Terduduk tegak kemudian mengambil buntalan -yang ternyata mayat bayi- dari tangan Net.
Bayi itu laki-laki, mungil sekali, hampir sebesar pepaya setengah matang yang sering Mbah Mis kupas untuk jualan. Wajar jika tadi dia menyangka mayat bayi yang dibalut kain seadanya ini adalah sekedar buntalan yang entah isinya apa.
“Mana Rim??” suara Mbah Mis bergetar, Net tahu neneknya ini marah besar.
“Rim di kamar Mbah…” jelas Net takut-takut, “Tapi… tapi dia tidak salah…”
“Tidak salah bagaimana? Mana mungkin hamil kalau tidak berzinah?” Mbah Mis tak bisa menunda murkanya, “Kapan Mbah mengajarinya begitu? Apa yang harus Mbah katakan pada orang tua kalian? Rim sudah…” Mbah Mis tersedu, menemani Net yang telah sejak tadi terisak. “Kenapa Net? Kenapa Rim tidak jadi gadis yang baik?”
“Mbah salah paham… Rim ngga salah Mbah…” terbata-bata Net membela kakaknya. Tapi Mbah Mis sudah beranjak ke luar kamar, mengibaskan tangan Net yang memegang tangannya.
“Riiiim…” teriakan Mbah Mis menggema di rumah kecil itu. Dia merasa tertipu oleh Rim yang telah berhasil menyembunyikan kehamilannya, juga kecewa kenapa cucunya bisa demikian.
“Rim ga salah Mbah, dia cuma menjual rahimnya untuk biaya kuliahku, dia tidak berzinah Mbah. Itu bayi pesanan, harusnya Rim…” Penjelasan Net tak lagi bisa didengar Mbah Mis, dia terpaku melihat Rim yang tak lagi bernyawa terbaring di samping bergepok-gepok uang.
Sayup, adzan shubuh berkumandang khidmat.
***
Karya terbaik dalam Quiz Monday FlashFiction #1.
Original Post ada di sini.
Sukaaa banget sama tulisan Orin yang satu ini :)
ReplyDeleteih, emang bagus yah.. :D
ReplyDeleteeh...udah dipublish *tersapu-sapu malu*
ReplyDelete