olehAulia Rahman
Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu — sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan —, kuharap tekadmu sudah bulat, Nak.”
Aku tak sempat untuk berubah pikiran karena sentakan tongkatnya membuatku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.
Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ok yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Satu-satunya yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.
Dari sekian banyak peron pemberhentian penyihir itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. Sempurna. Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah. Seorang nenek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan. “Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?”
Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. Astaga, tempat ini cool sekali, pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Aku buru-buru ke kamar mandi dan merapikan diri.
Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat tanpa menungguku.
Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus tapi berbuah panjang-panjang berwarna keunguan menjuntai hampir dua meter. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.
“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.
Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.
“Bisa bicara?”
Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan ia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.
“Apa yang kau lakukan di sini?” ulangnya dengan membelalak.
“Ibu; dia ingin kau menghindari gerbong yang biasa kau tumpangi. Ada pria yang akan jadi suamimu di sana.”
“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”
“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”
Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”
“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu ibu benci rambut merah.”
“Mengingatkannya pada ayah yang pemabuk. Darimana Ibu tahu?”
Aku menggeleng. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan.”
Wanita itu menghela napas. “Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya.
“Kereta datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”
Aku mengangguk cepat dan merasakan sensasi tersedot yang sama, kali ini tanpa suara penyihir tentunya.
Gerbong pendaratanku tak berterali, lebih empuk dan wangi permen. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. Sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki memandangiku takjub. “Kau tampak biru. Tersesat?”
Aku menggeleng pelan dan bergegas keluar, di pintu gerbong aku melirik dan terkesiap. Rambut merah itu.
*****
Cerita yang asyik! Gambaran dunia pada suatu masa yang dipenuhi dengan 'teknologi' berdampingan dengan 'dongeng antah berantah'. Walau sesekali penulis kehilangan fokus dengan terlalu banyak menambahkan kisah yang tak terlalu berhubungan, kisah ini tetap dapat dinikmati dengan baik. Satu lagi yang bisa menimbulkan tanda tanya adalah penempatan waktu yang kurang logis. Perbedaan usia (sekaligus jeda masa antara dua tokoh paling tidak sekitar 10-15 tahun saja, tetapi kondisi dunia mereka jauh berbeda.
Baca juga cerita teman lainnya, ya. :)
1. Ilmi Masfufiah - Tuhan, Tolong Aku
2. Putu Ayu - You're Beautiful on Subway
3. Fajar Rahmad Hidayat - Shct Cp!
4. Aulia Rahman - Pertemuan di Kereta
5. Wisnu Widiarta - Di Stasiun
No comments:
Post a Comment