oleh : Apura
Setiap hari, ibu bersusah payah menempuh jarak lebih jauh beberapa kilometer hanya untuk melewati jembatan tua itu. Padahal sudah ada jalan pintas dari rumah menuju pasar yang setiap hari ia kunjungi. Alasannya ketika kutanya selalu begini, “Jembatan tua ini mengingatkan ibu pada bapakmu, Nak”
Padahal apa yang ibu banggakan dari seorang suami yang mati digebuk masa karena mencuri?
“Seburuk apapun dia di mata kamu, dia tetap ayah kamu!” Tegas ibu kala itu sambil menahan tangisnya. Sejak saat itu pula aku berhenti mengungkitnya, demi air mata ibu yang sangat berharga.
Kemudian, aku makin terusik ketika ibu mulai sakit dan merengek minta diantar ke jembatan tua itu setiap hari, setiap pukul lima sore. “Sudah tau, jalan aja susah. Masih juga mau ke sana!” Protesku. Demi Tuhan, kalau saja matanya tidak menganak sungai tidak akan kuantar ibu ke sana.
Ia berdiri sampai pukul enam sore di atas jembatan tua itu. Kemudian mengajakku pulang.
“Kau tau? Dulu ibu pernah ingin loncat dari jembatan tua yang sepi ini. Ayahmu yang kebetulan lewat mencegah ibu”
“Hmm…” Balasku. Aku sudah mendengar itu ratusan mungkin juga ribuan kali.
“Kau mau tau alasannya mengapa ibu mau mati saat itu?” Tanyanya, perlahan.
Aku menatap wajahnya sekilas, ya tentu saja aku mau. Ibu selalu merahasiakannya.
” Ibu mengandung kamu…”
Biji mataku rasanya melompat ke sungai di bawah jembatan tua ini. Jadi, benar gosip orang-orang selama ini? Aku anak kakekku?
*
Cerita ringkas yang memiliki kekuatan. Semua elemen cerita terasa padu, tak bertele-tele. Tentang cinta yang penuh nostalgia. Tentang masa lalu yang biru. Jembatan difungsikan sebagai pusat cerita; penghubung masa kini dan dulu. Suka!
No comments:
Post a Comment