sketsa oleh Betty Sanjaya
oleh Em Fatoni
Andhina terlalu penyendiri. Kata guru-guru di sekolah, dia selalu berdiam diri sendirian di kelas ketika jam istirahat. Ketika di rumah pun, dia asik sendiri memainkan koleksi bonekanya di dalam kamar. Aku mengkhawatirkannya.
Sore ini, kubawa dia ke sebuah taman. Berharap bisa membaurkannya dengan anak-anak lain. Karena di blok tempatku tinggal tidak ada taman, terpaksa kubawa ke taman di blok lain.
Andhina tetap tidak berubah. Di Taman itu, dia bermain ayunan terpisah dari yang lain, dan terlihat asik sendiri. Namun ternyata dia menikmatinya. Setiap sore dia selalu memintaku untuk membawanya ke sana.
Suatu hari, sambil menunggu Andhina bermain, aku menegur seorang Ibu yang sedang termangu sendirian.
“Hai, senang ya liat anak-anak bermain.”
“Iya,” jawabnya. Tapi wajahnya menunjukkan kesedihan.
“Aku Elsa, dari blok sebelah.”
“Aku Santi.”
Kami berjabat tangan.
“Yang mana anak Ibu?”
“Itu. Bella namanya,”
Anak yang ditunjuk sedang bermain di kotak pasir. Tapi ada yang aneh dengan anak itu. Dia seperti tidak menikmati. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke seluruh taman dengan waspada. Dia sepertinya ketakutan.
“Dia memang penyendiri,” kata Santi seakan tahu pikiranku.
Aku menjadi salah tingkah.
“Tapi akhir-akhir ini menjadi lebih parah. Sekarang Dia sering merasa ketakutan. Kata psikiater, ini keadaan yang amat serius dan bisa membahayakan perkembangan mentalnya,” kata Santi lagi.
Malam itu kata-kata Santi terngiang-ngiang. Keadaan Bella mirip dengan Andhina. Aku menjadi semakin mencemaskan anakku. Esoknya, aku dan Andhina kembali ke taman. Kali ini aku ingin Andhina dan Bella bermain bersama. Kata temanku, sesama orang penyindiri biasanya bisa saling memahami. Aku dan Santi saling mengenalkan mereka dan kemudian membiarkan mereka bermain.
Selang beberapa saat, terdengar teriakan Bella. Aku dan Santi lantas berlari menghampiri mereka. Bella menghambur ke arah Santi dan memeluknya. Dia menjerit-jerit dan menangis. Di sela-sela teriakannya, terdengar, “Jangan paksa aku. Aku tidak mau ke sana!”
Malamnya aku mencoba menginterogasi Andhina.
“Sayang, sebenarnya apa yang terjadi tadi sore?”
“Aku cuma mengajak Bella untuk main ayunan.”
“Tapi kenapa dia sampai ketakutan?”
Andhina menggeleng, “Tidak tahu. Katanya dia takut dengan Tiara.”
“Siapa Tiara?”
“Dia temanku. Kami sering bermain ayunan bersama.”
Aku mengernyit. Siapa Tiara? Bukankah Andhina selalu bermain sendirian.
Sore berikutnya, aku ceritakan apa yang dikatakan Andhina kepada Santi. Dia terkejut. Awalnya dia mengelak, tapi setelah aku paksa akhirnya dia bercerita tentang Tiara.
“Dia anak kecil yang meninggal lima bulan yang lalu. Dia teman sekelas Bella dan sama-sama pendiam.”
“Meninggal?”
“Iya. suatu hari mayatnya ditemukan di Taman ini, diduga karena jatuh dari ayunan itu. Tidak ada orang yang melihatnya. Dia memang sering bermain sendirian.”
Aku merinding. Buru-buru kutmui Andhina. Ketika sampai di tempat ayunan, aku terpaku. Andhina sedang mendorong Bella di atas ayunan. Bella duduk gemetaran. Wajahnya pucat pasi.
“Lompatlah Bella,” kata Andhina.
“Andhina, ayo pulang!” sergahku.
“Tapi, Ma–”
Segera kubawa mereka berdua pergi dari ayunan itu. Kuserahkan Bella pada Santi dan kubawa pulang Andhina.
“Kenapa kita Pulang? Padahal Tiara sudah bisa membujuk Bella buat main ayunan.”
“Tiara itu tidak ada.”
“Ada. Dia dulu teman Bella.”
Aku terperanjat.
“Tapi mereka marahan. Tiara marah karena Bella tidak mau menolongnya ketika dia jatuh dari ayunan. Padahal Bella yang mendorongnya.”
Cerita asli di SINI
Cerita asli di SINI
***
Cerita ini menawarkan kisah yang sesuai dengan sketsa; tentang anak-anak yang bermain di ayunan. Latar belakang cerita pun mendukung, ditambah dengan twist yang lumayan. Perhatikan lagi tatacara penulisan huruf besar dan kecil, ya. :)
Wooo kaget aku dg ending polosnya
ReplyDeleteKereen ya...
ReplyDeletesaya sampe terbawa suasana cerita tentang kematian Tiara
Ceritanya ngalir asik
ReplyDeleteWah ternyata Bella itu ...
ReplyDelete