foto : koleksi Febriyan Lukito
“Senja itu telah menelan bulat-bulat kekasihmu! Tak ada gunanya kau terus menunggu!”
“Senja itu telah membakar tubuh kekasihmu hingga tak bersisa! Atau paling tidak, kalau dia masih selamat, kau akan menemukan tubuhnya gosong seperti arang!”
Kau tak pernah mempercayai apabila ada seseorang yang mengatakan padamu tentang keburukan senja.
“Tidak! Senja adalah sebuah hal yang indah, langit keemasan itu, burung-burung yang mengepak-ngepak. Harusnya kau bisa merasakan ketenangan seperti yang kurasakan ketika melihat itu semua! Mungkinkah senja yang memberikan ketenangan seperti itu sanggup berbuat jahat kepada kekasihku?”
Begitulah dalihmu, ketika sanak saudaramu dan orang-orang yang lainnya mencoba membujukmu agar tak usah lagi datang ke pantai itu di setiap senja. Jika dihitung, sudah sekitar 72 hari kau duduk di sebuah restoran dekat pantai sambil memesan strawberry cake dan segelas wine–menu favorit kekasihmu–setiap senja menjelang.
Orang-orang dan sanak saudaramu mulai pasrah, cara-cara yang coba mereka upayakan semua mentah. Betapa besar daya cinta yang kau miliki terhadap kekasihmu sehingga meski waktu-waktu terus berlalu tak sedikitpun dapat menggoyahkan kesetiaanmu untuk tetap menunggunya di pantai itu.
“Amaltea, jika kita menikah kelak, sebaiknya akan kita beri nama siapa anak kita?”
“Jika ia perempuan, sebaiknya diberi nama Senja.”
“Lalu, kalau laki-laki?”
“Fajar.”
“Bagus sekali itu, lalu jika kita punya anak lagi kita beri nama Sabit, Gerhana, Purnama.”
Kau lalu tertawa nyaris cekikikan, betapa kenangan itu tak akan pernah sanggup kau lupakan dan akan terus membayang dalam ingatanmu.
Tapi, ini sudah hari ke 72, dan kekasihmu tak kunjung pulang dari tugasnya ke luar negeri sebagai seorang antropolog. Ia mengatakan akan pergi ke Alaska untuk meneliti masyarakat Eskimo selama sebulan.
Apakah karena di sana tak ada senja, hingga dia lupa jalan pulang?, batinmu.
Menjelang senja itu lesap, berganti dengan temaram. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar di lautan, cahaya senja memancar begitu kuat, sangat kuat, hingga membuatmu silau. Sementara itu, kau juga mendengar teriakan orang saling bersahutan, seperti sedang ketakutan. Kakak laki-lakimu pun juga berteriak ke arahmu, meminta agar kau segera berlari sejauh-jauhnya meninggalkan bibir pantai.
Kenapa orang begitu takut dengan senja?
Angin mengempas begitu kuat, permukaan air bergulung-gulung membentuk ombak setinggi 3 meter. Kau masih tampak tenang.
Senja itu kemudian meledak, melemparkan benda apa pun yang ada di sekitarmu, sekaligus membakarnya. Suhu udara yang semakin tidak teratur menyebabkan ombak itu semakin meninggi dan semakin cepat pergerakannya.
Dan saat itulah, ketika kulitmu telah meletup-letup karena melepuh, dan ombak yang tinggi itu kini hanya berjarak 2 meter darimu. Samar-samar kau merasakan kekasihmu muncul dari ledakan senja dan terbang di antara gulungan ombak, seperti hendak mendekapmu dengan tubuhnya yang bercahaya, sama sekali tak gosong sedikitpun seperti yang orang lain ceritakan. (*)
Cerita asli di SINI
***
Judulnya 'wah', terkesan puitis sekaligus garang. Dan cerita yang disajikan menjadi penjelasan yang tepat mengenai 'senja yang meledak'.
kece badai
ReplyDelete