Oleh: Tara Orian
Judul: For Darkness Show The Stars (Paperback)
Penulis: Diana Peterfreund
Penerbit: Balzer + Bray, an Imprint of HarperCollinsPublishers
No ISBN: 0062006150 (ISBN13: 9780062006158)
Tahun terbit: 2013
Edisi: English
Tebal: 407 halaman
Blurb: Elliot North fights to save her family’s land and her own heart in this post-apocalyptic reimagining of Jane Austen’s Persuasion.
(Sumber gambar: Goodreads)
Rating : 3,8 dari 5
For Darkness Show The Stars dibuka dengan adegan 12 tahun sebelumnya, di mana Elliot North tengah berkorespondensi dengan teman laki-lakinya yang bernama Kai. Bab selanjutnya kita seakan ditarik ke ‘masa sekarang’ dari cerita, dan langsung dihadapkan pada perjuangan Elliot untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan keluarga dan budak-budak mereka dari Ayahnya sendiri, Baron North yang kejam dan suka menghamburkan uang.
Dahulu, dunia terdiri dari England, Greek, Egypt, China dan lain sebagainya. Kecanggihan teknologi menjadikan manusia (di sini disebut dengan kaum Lost) menciptakan organ tubuh palsu atau otak sintetis—dengan rekayasa genetika—agar menjadikan diri mereka lebih agung dari Tuhan. Hal tersebut membuat Tuhan murka dan mengutuk para keturunan Lost menjadi orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental dan keterbatasan pola pikir. Mereka lantas disebut Reduced. Dunia yang dikenal lalu hancur dalam ledakan beserta segala ciptaan para Lost dan memaksa manusia untuk memulai kembali kehidupan dari awal.
Lama setelahnya, kaum Luddite muncul sebagai penyelamat bagi kaum Reduced. Mereka yang selama ini dikenal sebagai kaum religius dan tidak pernah menentang Tuhan, selamat dari amukan tersebut dengan bersembunyi di gua-gua. Kaum Luddite menawarkan para Reduced untuk dibina dan dipekerjakan di Estate mereka, meskipun sebenarnya itu istilah lain untuk perbudakan. Segala bentuk rekayasa genetika dilarang keras dalam protokol Luddite untuk mencegah kemurkaan Tuhan untuk kali ke dua.
Cukup penjabaran mengenai latar belakang dunia, karena kisah ini berputar pada kehidupan Elliot North. Ketika kakek Elliot masih muda, di antara para budak Reduced tersebut, lahirlah anak-anak yang memiliki kepandaian menyamai para Luddite. Pada saat itu jumlahnya belum banyak, dan kaum ini lantas disebut Children of the Reduction (COR). Para COR bisa memahami percakapan yang lebih kompleks, bahkan ada yang bisa menjadi mekanik bagi traktor pembajak ladang dan dapat memperbaiki mesin pemerah sapi. Ketika Elliot lahir, Kai yang seorang COR dan Ro yang Reduced juga terlahir di hari yang sama. Ibu Kai dan Ibu Ro meninggal setelah melahirkan mereka, karena satu-satunya Penyembuh di Estate itu tengah membantu persalinan Elliot. Perasaan bersalah itu membuat Elliot menawarkan pertemanan pada Kai dan Ro.
Menjelang Elliot remaja, ia kehilangan sosok sang Ibu. Pada saat itu, tidak ada lagi yang bisa mengendalikan kesemena-menaan Baron North. Hal tersebut menyebabkan pergerakan para COR untuk membebaskan diri dari kaum Luddite semakin gencar. Mereka bahkan memiliki julukan sendiri untuk menggantikan istilah COR, yakni Post-Reductionist. Terdengarlah kabar bahwa di sudut terpencil Channel City, para Post yang melarikan diri berkumpul di sana dan membentuk sistem kehidupan sendiri. Kai tertarik untuk bergabung di sana. Ia ingin mengajak Elliot serta, namun Elliot menolak ikut. Ada ladang yang harus ia urus dan budak-budak yang harus ia lindungi dari sang Ayah. Elliot melepaskan cinta pertamanya dengan berat hati.
[spoiler] We can’t escape who we are born to be, Kai. The Reduced are Reduced. They will always be Reduced. And I will always be a Luddite. I was born this way. I will die this way. I can’t turn my back on that. Luddites were handed a sacred trust—we are the caretakers of humanity. Without us, the world would have burned, and all mankind would have been destroyed. I cannot ignore that. I cannot forget who I am.
But you are not a Luddite.
That’s why I cannot go with you. And also why I can’t ask you to stay.
God be with you.[spoiler]
Empat tahun setelah kepergian Kai, sekelompok Post yang menamai diri mereka Cloud Fleet datang untuk menyewa rumah singgah Boatwright milik kakek Elliot di tepi pantai. Mereka hendak membangun kapal dan berlayar mengelilingi dunia yang belum terjamah paska kehancuran. Kai kembali sebagai kapten utama kapal dengan nama baru Malakai Wentforth, dan perhatian Elliot kembali terpecah antara mempertahankan keluarganya yang jatuh miskin atau mengejar kembali cintanya yang lama hilang.
Pertama kali saya berkenalan dengan karya Diana Peterfreund adalah ketika membaca cerpennya di kumcer Zombies versus Unicorn. Pada saat itu, karyanya tidak bisa dibilang menonjol dibanding kontributor lain yang rata-rata memang sudah memiliki nama besar, seperti Meg Cabot, Scott Westerfeld dan Cassandra Clare. Namun, ketika membaca buku ini, ekspektasi saya yang semula biasa saja kini dijungkirbalikkan. Bagi saya, Diana Peterfreund sukses membuat cerita fantasi futuristik post-apocalypse bernuansa jadul ala Jane Austen dengan sangat baik. Saya seperti membaca novel modern dengan rasa klasik, melalui diksinya yang renyah serta beberapa kali membuat saya membuka tesaurus karena terasa asing, dan jalinan ceritanya yang mudah dipahami—khususnya bagi orang-orang yang belum terbiasa membaca buku fantasi. Meskipun berlabel cerita roman remaja di penghujung belasan tahun, namun Diana tidak melewatkan bagian-bagian worldbuilding yang rawan dicibir para kritikus tentang kesinambungan unsur fantasi dengan cerita, atau celah kosong yang bisa dicari kesalahan. Bagi saya, novel ini padat konflik (dan informasi), namun mengalir dengan lancar.
Namun, tentu saja sampai saat ini masih ada perdebatan di kalangan kritikus Goodreads mengenai nama tokoh dan garis besar cerita yang masih kental dengan nuansa Persuasion milik Jane Austen. Saya memang sedang memasukkan Persuasion dalam daftar bacaan selanjutnya, namun menurut saya pribadi, karya ini jauh lebih baik ketimbang novel adaptasi lainnya, seperti Pride and Prejudice and Zombie milik Seth Grahame atau Alice in Zombieland milik Gena Showalter. Selain itu, sisipan plot dari masa lalu yang digambarkan lewat kutipan surat-surat antara Elliot dan Kai terasa seperti dipaksa masuk ke dalam cerita. Lompatan waktunya juga cukup acak, seolah surat-surat selama 10 tahun dijepit berdasar tahun, diundi, lalu dipilih urutan tampil dalam cerita. Tapi, itu mungkin cara Diana Peterfreund menunjukkan pada kita bahwa apa yang terjadi pada masa ini adalah akibat dari kejadian di masa lalu mereka, meski perpindahannya terasa kurang halus. Yang disayangkan lagi adalah, gambar sampulnya kurang menunjukkan isi buku, baik tersirat maupun tersurat. Saya bukan penganut ‘judge a book by it’s cover’, itu sebabnya hal ini ditulis belakangan. Tapi keterkaitan antara gambar sampul dengan isi buku, saya rasakan sendiri membawa pengaruh cukup besar bagi ekspektasi pembaca.
Terakhir, saya merekomendasikan buku ini kepada para pembaca baru di genre fantasi, para penikmat sastra klasik, penyuka kisah roman, atau orang-orang yang membutuhkan bahan bacaan bagus, karena teman-teman bisa menemukan semua itu dalam satu buku. Sayangnya, For Darkness Show the Stars belum masuk di Indonesia, untuk edisi terjemahan. Saya sarankan membelinya di toko buku yang memang menjual buku berbahasa Inggris, atau membeli online di Amazon.
No comments:
Post a Comment