sumber gambar : Google
“Sarah…Sarah…apa yang bisa kulakukan agar kau mau berhenti minum?” keluh Adam melihat kekasihnya menuang wine dalam gelas tingginya. Sarah hanya tertawa sinis, musik yang hingar bingar tak bisa menenggelamkan keluhan Adam.
“Kalau kau jadi aku, Sayang, setiap kali melihat orang tuamu saling menyakiti, saling teriak, tanpa peduli padaku, apa yang akan kau lakukan, ha?”
“Sarah, masih ada aku yang akan selalu memberimu cinta.”
“Terimakasih untuk itu, Sayang, tapi aku butuh cinta mereka juga,” geram Sarah lalu menyesap anggur yang memabukkan itu. Adam menggenggam tangannya.
“Apapun akan kulakukan untukmu, asal kau mau berhenti,” ujarnya tegas, “Tatap mataku, Sarah, apapun… apapun yang kau minta!”
“Serius kau?” Sarah melihat kesungguhan pada mata kekasihnya, kesungguhan dan kekerasan yang tak terbantahkan. Perlahan ia meletakkan gelasnya lalu keluar villa dengan sempoyongan. Adam menyusul di belakangnya.
“Kau lihat, Sayang, langit begitu gelap sekaligus bersinar. Dalam mabukku, aku sering menjadi burung yang terbang melintasi malam. Sesekali, aku ingin berayun pada chandelier alam, jutaan bintang-bintang di sana. Indah, bukan?” Adam melihat gemerlap bintang di langit, cemerlang seperti chandelier di ruang tamu.
“Kau mau itu, Sarah? Asal kau mau tinggalkan minumanmu, akan kupetik bintang dan kususun menjadi chandelier untukmu, dan kau bisa berayun sesukamu.” Mata Sarah berbinar-binar.
“Aku janji, Adam.”
Maka Adam melompat, lalu memanjat malam, tinggi – setinggi yang ia mampu- kemudian memetik bintang yang terdekat. Panas dan menyilaukan, namun demi Sarah ia lakukan juga. Satu, lalu disimpan dalam kantung celananya. Ia memanjat lebih tinggi dan melihat rangkaian Ursa Major. Matanya berbinar, rangkaian yang indah cukup untuk membentuk sebuah chandeliersederhana. Sempat dilihatnya bulat rembulan, ingin juga ia petik, tapi urung. Bagaimana jika bulan yang hanya satu itu ia petik? Tentu akan banyak yang kehilangan, sementara takkan ada yang kehilangan sedikit bintang dari jutaan yang ada.
Panas semakin menyengat, sakunya pun telah penuh setelah terisi Ursa Major tadi. Lantas ia turun. Tubuhnya bercahaya, seperti membentuk gugusan bintang baru yang melayang-layang. Malam di sekitar villa menjadi cemerlang, melebihi pasar malam. Lalu ia berdiri di hadapan Sarah yang menutup mata dengan lengannya.
“Akan kurangkai bintang ini untukmu,” ujarnya. Dengan hati-hati Adam mengeluarkan bintang-bintang dan menyusunnya persis seperti chandelier dengan rangkaian yang lebih sederhana, lalu mengaitkannya pada malam.
“Berayunlah, Sarah, berayunlah sesukamu,” ujarnya. Sarah membuka matanya, silau tetapi ia tertawa bahagia. Ia pun segera menaiki malam beberapa undakan dan meraih rangkaian bintang itu dan berayun. Seperti dalam mimpi-mimpinya, ia berayun-ayun pada malam. Tawanya lepas, kakinya mengayun berirama, rambutnya berkibaran, ia tengadah menatap langit.
“Kau suka, Sarah?” teriak Adam dari bawah.
“Suka sekali, Sayang!”
Sarah lupa pada masalahnya, pada mabuknya. Ia berseru-seru dan tertawa-tawa seperti anak kecil. Ketika lengannya telah pegal dan dingin semakin menggigit, ia melompat turun lantas memeluk kekasihnya hangat.
“Terimakasih, Sayang,” bisiknya. Adam tersenyum bahagia.
“Kapan-kapan, Adam, mari kita meniti langit dan berbaring pada awan-awan. Dan aku akan melupakan kesedihanku, aku hanya butuh kamu dan bukan orang tuaku. Maukah kau berjanji, Adam?”
“Adam?”
Sarah histeris mendapati Adam lumer dalam dekapannya. Panas dari puluhan bintang dalam sakunya telah membuatnya terbakar seperti lilin, perlahan lantas habis pada akhirnya.
***
catatan Bang Min
Cerita sureal ini berhasil melambungkan imajinasi. Dengan cerdik penulis menuntun pikiran pembaca menyertai tokoh Adam memanjat malam dan memetik bintang-bintang. Sebuah interpretasi yang menarik terhadap tema pekan ini. Keren!
Keren banget ceritanya :)
ReplyDeletekeren om
ReplyDeleteidenya ane suka