Saturday 6 December 2014

Fantasi Bukan Melulu Tentang Sihir



Sumber gambar dari sini.

Esai ini dibuat karena banyaknya pertanyaan yang masuk pada saya—baik pada akun ini atau jejaring sosial lain—menanyakan bagaimana menulis fantasi yang bagus. Jawaban saya biasanya bernada sama, tidak ada tulisan fantasi yang tidak bagus. Terlepas dari selera atau bukan, saya rasa setiap ide berhak mendapat apresiasi yang sama besar. Dibutuhkan teknik-teknik kepenulisan dan pemahaman mengenai fantasi itu sendiri untuk bisa menghasilkan sebuah tulisan fantasi yang bagus. Di sini saya tidak akan bicara mengenai teknik kepenulisan—karena ilmu saya masih dangkal, tapi saya akan membagi sedikit teknik untuk memahami fantasi itu sendiri.

Tulisan fantasi pada dasarnya adalah tulisan yang berlatar pada dunia dengan konsep di luar dunia yang kita kenal selama ini. Atau dengan kata lain, dunia selain yang kita tinggali sekarang. Contoh mudahnya adalah The Lord of The Rings. Atau, bisa jadi tulisan tersebut tetap menggunakan dunia ini, namun diberikan beberapa modifikasi yang membuatnya terasa asing dan berbeda. Sebagai contoh, Percy Jackson. Camp Half-Blood yang menjadi sorotan utama pada novel ini adalah bentuk modifikasi dari dunia modern yang kita kenal. Membuatnya menjadi dimensi asing di tengah hiruk-pikuk New York. Lokasi fiktif yang bahkan meski kita menyusuri sepanjang Long Island tidak akan kita temukan di kehidupan nyata. Atau peron 9 ¾-nya Stasiun King’s Cross tempat Harry Potter naik Hogwarts Express untuk memulai tahun ajaran baru. Atau kotak telepon di jantung kota London yang menghubungkan dunia Muggle dengan Kementerian Sihir di bawah tanah. Atau lemari tua yang menghubungkan Narnia dengan dunia tempat Lucy Pevensie tinggal. Jika teman-teman mencermati cerita fantasi yang berlatar kehidupan sehari-hari, selalu ada pembeda dari dunia yang kita kenal dengan dunia pada latar cerita-cerita fantasi. Dan dari sanalah kita berangkat.

Setting fantasi bukan tidak terbatas


Fantasi pun butuh logika. Kita memang diperbolehkan berkhayal tingkat tinggi, tapi masih perlu mengingat bahwa semua itu harus memiliki dasar. Seperti halnya tulisan bergenre lain, tulisan fantasi membutuhkan sebab yang menyebabkan tulisan tersebut layak disebut fantasi.
Saya ambil contoh, buku Girl of Fire and Thorns saga yang baru-baru ini saya tamatkan. Setting ceritanya terdapat di padang pasir yang dibatasi pegunungan bernama Sierra Sangre. Namun anehnya, di sisi lain Sierra Sangre, daerahnya tidak kering atau tandus. Setting di daerah tersebut mengingatkan saya akan Eropa yang indah dan sejuk. Seolah-olah bumi dibelah dua, gersang dan tandus, hanya dengan berbatas pegunungan. Bagaimana mungkin bisa seperti itu? Rasa-rasanya, tidak ada tempat semacam itu di dunia nyata.

Ternyata, dikisahkan Tuhan menciptakan negeri Invierne terlebih dahulu, negeri yang indah dan tenteram, dengan penduduknya yang bernama kaum Invierno—secara fisik mereka berbeda dari manusia yang kita kenal, dan orang-orang pilihan Tuhan yang terlahir dengan membawa Godstone—Batu Tuhan dalam bentuk liontin kalung sebagai tanda lahir. Jangan keburu bertanya mengapa bayi Invierno terlahir pakai kalung, karena di bawah akan saya jelaskan khusus tentang ini. Juga jangan lekas mencari tahu ajaran agama mana yang jadi inspirasi cerita ini, karena konsep ketuhanannya murni fantasi belaka. Orang pilihan pembawa Batu Tuhan ini memiliki kemampuan sihir. Iya, tidak semua orang memiliki Batu Tuhan dan tidak semua orang tercipta untuk menguasai sihir. Para penyihir Invierno ini kemudian disebut Animagus.

Lama setelahnya, Tuhan memutuskan untuk menciptakan manusia. Tuhan mengangkat dasar laut di sisi Sierra Sangre—yang kemudian menjadi gurun pasir. Di dunia nyata, ada dua teori jika dasar laut terangkat ke permukaan, yaitu menjadi gurun pasir, atau pegunungan kapur, seperti yang pernah saya pelajari ketika SMP. Namun, sekali lagi fantasi itu bebas, namun bukan tidak terbatas. Setting gurun pasir dipilih karena di kemudian hari—menjelang bab-bab terakhir dari buku ketiga, ada misi Tuhan untuk menggali oase—penjelasan di bawah.

Di samping Invierno, Tuhan juga menganugerahi manusia dengan Batu Tuhan. Hanya saja, Batu Tuhan pada manusia tertanam di perut dan hidup independen, berdenyut seperti jantung kedua, tidak seperti milik Invierno yang berbentuk kalung. Kekurangan di pihak manusia, hanya ada satu orang pembawa batu, dan orang tersebut terpilih setiap seratus tahun sekali. Meski pun sebelum ‘masa jabatan’ seratus tahun berakhir, namun orang tersebut sudah meninggal, tenggat waktu setiap pembawa Batu Tuhan tetap sama. Konon, menurut kitab Tuhan—Scriptura Sancta, yang turun bersamaan diciptakannya manusia—orang yang membawa Batu Tuhan hidup mengemban misi khusus dari Tuhan. Bermacam-macam misi pada berbagai manusia telah diberikan. Namun misi terbesar adalah untuk menemukan zafira, pusat sihir yang wilayahnya masih misteri. Para Invierno yang haus akan kekuatan zafira, lantas menyerukan perang terhadap manusia pembawa batu Tuhan.
Dari contoh yang saya jabarkan di atas, selalu ada penjelasan dari setiap aksi yang dilakukan. Meski fantasi, bukan berarti konsepnya tidak dipikirkan matang-matang dan hanya bermodal spontanitas. Worldbuilding—pembangunan dunia itu penting, dan pelajaran pertama dari menulis fantasi adalah menguasai konsep worldbuilding. Hal ini akan saya lanjutkan di kemudian hari (jika esai ini mampu menarik teman-teman lain untuk belajar menulis fantasi lebih lanjut).

Fantasi bukan melulu tentang sihir


Saya tidak sedang mengetik ulang judul di atas dengan tanpa sebab, karena memang selama ini banyak orang masih mengaitkan cerita fantasi dengan sihir. Mungkin karena dogma Harry Potter begitu erat melekat di benak kita semua, atau memang kebanyakan cerita yang beredar menggunakan sihir. Oleh sebab itu, mari saya perkenalkan teman-teman dengan cerita-cerita fantasi yang tidak menggunakan sihir.

Twilight Saga. Saya tidak perlu menjelaskan secara garis besar plot cerita ini, karena siapa yang tidak kenal dengan Edward Cullen dan Bella Swan. Apakah ada sihir di dalamnya? Sepanjang saya menonton film dan membaca sekilas bukunya, tidak ada.

The City and The City. Mungkin tidak banyak orang mengenal buku ini, tapi buku tersebut telah diangkat ke layar lebar pada 2013 dengan judul Upside Down. Dalam versi film, cerita ini disederhanakan menjadi kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang tinggal pada dua planet bersisian dengan gaya gravitasi berlawanan. Ini juga satu-satunya buku fantasi yang bisa saya jadikan contoh bahwa kisah fantasi tidak melulu tentang sihir atau peperangan antarbangsa seperti Lord of The Rings atau perang besar antara Harry Potter dan You-Know-Who. Ini adalah kisah romansa, namun unsur fantasi dan sedikit dystopia di dalam cerita menimbulkan konflik antara keduanya.

Charlie and The Chocolate Factory. Buku ini sudah menjadi teman saya sejak masih duduk di bangku SD, dan juga sudah difilmkan dengan aktor Johny Depp sebagai Willy Wonka. Buku ini berkisah tentang pabrik cokelat ajaib yang bisa menghasilkan cokelat dengan berbagai varian rasa dan bentuk. Meski namanya ajaib, tapi tidak ada mantra sihir di dalamnya, hanya kecanggihan mesin dan kemampuan racikan ahli tuan Willy Wonka.

How to Train Your Dragon. Buku ini telah diangkat menjadi film animasi dan menjadi tontonan favorit anak-anak. Berkisah tentang bangsa Viking di masa lalu yang hidup berdampingan dengan para naga, bahkan menjadikan mereka binatang peliharaan. Meski ada makhluk fantasi yaitu naga, tidak seperti Inheritance tetralogi, naga-naga di How to Train Your Dragon tidak memiliki sihir.
Sihir bukanlah satu-satunya tujuan kepenulisan fantasi. Sihir hanya alat. Seperti perisai dan pedang para ksatria untuk berperang, sihir hanya dipergunakan untuk fungsi tertentu saja. Sihir bukan komoditas yang bisa dieksploitasi sembarang orang dengan tanpa tujuan jelas, seperti poin yang telah saya jabarkan sebelumnya.

Di Harry Potter, ada orang-orang yang tidak bisa menggunakan sihir, namanya Muggle. Juga orang-orang berdarah murni dari keturunan penyihir namun tidak memiliki kemampuan sihir, disebut Squib. Di Girl of Fire and Thorns, tidak semua orang bisa menggunakan sihir, hanya Animagi—tunggal, jamak Animagus—dan manusia pembawa Batu Tuhan. Di Inheritance tetralogi, hanya para penunggang naga yang memiliki kemampuan sihir karena terhubung dengan naga tunggangan mereka. Kemampuan sihir memang bukan main-main, jadi jika ingin menulis cerita fantasi dengan menggunakan sihir, pertimbangkan baik-baik logikanya dan kepatutan tokoh tersebut untuk menguasai sihir.

Terakhir, esai ini saya tutup dengan sebuah saran sederhana, tidak ada salahnya banyak-banyak membaca buku fantasi—mau yang berat seperti Lord of The Rings sekalipun, atau yang ringan untuk referensi konsep worldbulding. Fantasi diciptakan untuk dinikmati. Jika kita sudah memahami alur logikanya, maka semua akan terasa ‘masuk akal’ alih-alih ‘fantasiyah’. Jangan ragu-ragu membaca fantasi dan jangan takut  untuk belajar menulis fantasi, karena seperti pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Esai ini dibuat untuk membimbing penulis dan pembaca fantasi agar mempermudah menyelami bacaan fantasi. Sampai bertemu di esai selanjutnya (jika ada).

3 comments:

  1. haha kita semua juga punya fantasi masing-masing.. fantasi itu ada karena kita sendiri yang menginginkannya :))

    ReplyDelete
  2. Bagus fantasinya :)) Suka berimajinasi.

    ReplyDelete
  3. Berarti film2 indonesia, spt Badai, Cakep2 sakti, itu termasuk film fantasi ya?

    ReplyDelete

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *