Thursday 20 November 2014

Karya Terpilih Prompt #70 : Mengurai Rindu Ibu


oleh : Edmalia Rohmani

Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masing mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.

"Mas Koyo," orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. "Saya Kiswoyo, masih ada hubungan darah dengan Mbak Uci," katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. "Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini," sambungnya.

Aku mengangguk tanda setuju. Sedikit lebih lama lagi menunggu di luar sini bisa jadi aku akan mati beku. Pria bernama Kiswoyo itu lalu menstarter motor bebeknya. Berdua kami membelah jalanan malam yang mulai berkabut.

“Mas Kis…maaf boleh tidak ya saya diantar ke rumah ibu saya saja,” ujarku setengah berteriak menyaingi bising suara motornya.
Dia mengangguk lalu membelokkan arah ke desaku. Kira-kira sejam kemudian kami baru sampai.

Rumah masa kecilku masih sama. Kusam dan reyot, kalau tidak bisa dibilang hampir rubuh. Ah, tentulah jam segini ibuku masih terjaga. Beliau biasanya menghabiskan malam sambil menjahit di ruang tamu.

“Assalamualaikum Bu…,” seruku sambil membuka pintu. Aku yakin ibu pasti tidak mengunci pintu sebelum lewat tengah malam karena dulu terbiasa menunggu Bapak pulang larut.

“Koyo? Kamu benar-benar Koyo??” Ibu menatap tak percaya. Ditangkapnya wajahku dengan kedua tangannya yang renta. Wajahnya yang keriput tak mengurangi kecantikannya di masa muda.

Aku menghambur ke pelukannya. Diciumnya keningku berkali-kali. Satu-dua air matanya menetesi wajahku. Bercampur dengan air mataku. Segala rasa teraduk-aduk menjadi satu. Rindu, senang, sedih, dan entah apalagi.

“Assalamualaikum Budhe…. Saya Kiswoyo,” tiba-tiba Kiswoyo sudah berdiri di ambang pintu memperkenalkan diri. Ibu terkejut melihatnya.

“Kamu saudara sepupunya Uci bukan?” tebak ibu. Kiswoyo mengangguk.

“Kebetulan tadi saya lewat lapas dan melihat Mas Koyo lama menunggu. Tadinya mau saya bawa menginap di rumah tapi Mas Koyo minta diantar ke sini,” jelasnya lagi.

Ibuku mengangguk penuh rasa terima kasih. Pria itu lalu pamit pulang dan berjanji kapan-kapan akan berkunjung lagi.

Selepas Kiswoyo pergi tinggal aku dan ibuku yang melanjutkan mengurai rindu. Kusandarkan kepala di pangkuan ibuku. Tangannya mengelus-elus rambutku yang memutih. Terlalu lama rupanya kepedihan ini memisahkan kami.

“Maafkan ya Nak, Ibu lupa kalau hari ini kamu dibebaskan. Maklum sudah umur…. Sudah beberapa tahun ini Ibu belum mendengar kabar dari Uci. Mungkin dia masih trauma dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu,” mata ibu mulai berkaca-kaca.

“Tak apa Bu, nanti kita cari bersama-sama ya. Semoga saja bisa ketemu. Saya juga rindu sekali dengannya. Bahkan bila memungkinkan kita pindah saja dari rumah yang membawa kenangan buruk ini,” hiburku.

Ibu mengangguk setuju. Air matanya berjatuhan lagi satu-satu.

“Maafkan Ibu ya Nak, karena Ibu kamu harus mendekam di penjara sekian lama.”

Aku menggeleng kuat. “Itu pilihan hidupku Bu. Demi menjaga kehormatan keluarga ini, kehormatan istriku, dan kehormatan Ibu. Demi kebahagiaan Ibu…,” hiburku lagi.

Pelukan ibu semakin erat. Berdua kami larut dalam kenangan malam itu, malam jahanam ketika bapakku yang sedang mabuk berat mencoba menodai Uci. Untunglah ibu datang dan menyelamatkan istriku. Ibu yang terpojok dengan terpaksa memukulkan botol minuman ke kepala bapak hingga ajal menjemput nyawanya. Aku yang baru pulang bekerja terkejut mendapati kedua wanita itu berpelukan dan bersimbah darah. Tanpa pikir panjang kuambil bongkahan botol terbesar dengan tangan kananku dan kuakui semua perbuatan ibuku. Biarlah kutanggung semuanya di pundakku.

Cerita asli DI SINI

Catatan Admin.
Tantangan prompt kali ini memang berbeda dari biasanya. Ada kesulitan tersendiri dalam melanjutkan cerita berdasarkan potongan kisah asli, apalagi bagi yang sudah membaca seluruh cerita asli. Di antara ke-nyaris-seragam-an cerita yang ada, cerita ini memberi 'sedikit' perbedaan. Memang tidak ada plot yang rumit atau puntiran yang 'meledak', tapi ada pesan manis yang diselipkan oleh pengarang : cinta pada ibu. Terasa indah saat membayangkan pengabdian seorang anak pada ibunya. Pengarang berhasil mengantarkan pesan itu.












1 comment:

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *