oleh : Vanda Kemala
sumber : Vevo
“Sudah siap?”
Lelaki di sebelahku tersenyum melihatku yang sedang
bersemangat. Ini malam yang sudah lama aku tunggu, karena janji lamanya untuk
mengajariku memotret kembang api, akhirnya bisa terlaksana. Ini semacam sebuah
penantian panjang, karena jarang ada pesta kembang api di kota kami. Jadi,
ketika kami tahu kalau akan ada pesta musik dan kembang api di acara ulang
tahun kota tempat kami tinggal, rencana segera dibuat.
Kami sudah berada di atap kantorku sejak pukul
sepuluh malam. Letak kantor yang tidak terlalu jauh dari lokasi acara, kuanggap
cukup tepat untuk mengambil gambar.
“Pasang tripodnya, Sayang…”
Aku menurut. Kabar yang aku terima, kembang api dimulai
pukul 22.30, dan akan berlangsung sekitar 45 menit. Kami punya cukup waktu
untuk memilih tempat yang sesuai untuk mengambil foto. Atap kantor yang
luas membuat kami bebas memilih, dan akhirnya memutuskan sisi Barat adalah
tempat yang tepat. Suara dentuman musik terdengar cukup jelas di tempat kami
berdiri.
Kamera kami sudah siap, tinggal menunggu pesta kembang api
dimulai. Aku memilih duduk menunggu, sedangkan dia tetap berdiri sambil
memerhatikan lampu-lampu kota yang terlihat seperti kunang-kunang.
“Tadi baterai kameranya sudah diisi penuh, kan?” tanyanya
tiba-tiba.
“Sudah, Jenderal! Cadangan juga penuh. Kondisi kita aman
terkendali.”
Dia tersenyum, lalu berjalan ke arahku. Sebuah gerakan
lembut yang sedikit mengacak-acak rambut, mendarat di kepalaku sebelum dia
duduk dan meraih telapak tangan kananku yang dingin.
“Kamu kedinginan?”
“Sedikit. Nggak masalah kok.”
“Kalau memang nggak kuat dingin, kita pulang aja, ya?
Daripada ada apa-apa sama ka…”
Aku pun segera memotong kata-katanya. “Enggaaakkk… kita
nggak akan pulang sebelum dapat foto kembang api yang bagus. Mending sekarang
kamu mulai ajarin teori foto kembang api itu kayak gimana.”
“Yakin?”
“Ay ay, Captain!”
Lelakiku mengalah. Dia mengajariku tahap demi tahap.
Pengaturan shutter speed jugaISO yang rendah, mode manual, semuanya.
Ketika aku memasang wajah bingung, dia seringkali berhenti dan mengulang
kembali teorinya. Sebenarnya tidak terlalu banyak, tapi amatir sepertiku ini
memang butuh banyak belajar, juga praktek.
Kembang api pertama akhirnya meluncur. Kami segera sibuk
dengan kamera masing-masing. Beberapa foto sudah aku dapat, tapi hasilnya jauh
dari memuaskan. Aku sengaja bertahan dulu, dengan tidak bertanya cara yang
tepat, dan berusaha mengingat apa yang sudah dia ajarkan.
“Dasar amatir!” rutukku dalam hati.
“Ini gimana, sih? Dari tadi nggak bisa dapet yang bagus,
padahal udah praktek kayak yang kamu ajarin tadi.” ujarku menyerah.
“Sini, coba aku lihat.”
Mungkin aku terlalu amatir, karena hanya sebentar setelah
dia mengatur kameraku, akhirnya aku mulai berhasil mengambil gambar kembang api
yang apik. Senyumku lebar, mengucapkan terima kasih lalu mengecup bibirnya
sekilas, dan akhirnya asyik mengambil gambar lagi.
Tiba-tiba, titik fokusku terganggu. Aku yang terbiasa
menutup sebelah mataku agar lebih jelas melihat lewat lensa, segera merasa
kalau ada sesuatu yang menutupi lensa kameraku. Aku mengalihkan pandangan, dan
menemukan dia berada di depan kameraku.
Lelakiku… sedang memegang sebuah cincin.
Ini…
“Hei…”
“Hei… apa ini?” ujarku lirih.
Dia tersenyum, lalu berlutut. “Perempuanku… kamu mau nggak,
jadi kembang api terindah di hidupku?”
Pandanganku mengabur. Air mataku turun tanpa aba-aba.
Mendadak kembang api di belakangnya tidak menarik
perhatianku lagi.
No comments:
Post a Comment