Hendra mengelus rambut istrinya dengan penuh sayang. Jemarinya menelusuri garis yang membelah rambut panjang keperakan itu menjadi dua bagian. Lalu jejari itu turun membelai pipi pucat wanita yang telah tiga puluh tahun mendampinginya. Wanita yang kini terbaring tanpa daya di ranjang rumah sakit. Tubuh kurusnya ringkih, digerus sel-sel kanker.
“Frida, Sayangku,” Hendra berbisik lirih. Diciumnya ubun-ubun kekasihnya itu. Tangannya merentangkan sebuah peluk. Frida menggeliat, merasakan kehadiran suaminya.
“Mas.” Suara itu begitu pelan. Hendra nyaris tak bisa mendengar bisikan itu jika tak mendekatkan telinganya.
Kelopak mata yang lelah itu membuka separuh. Terlihat sayu dan lelah. Frida memaksakan seulas senyum di bibirnya yang kering. Hanya agar hati suaminya tak semakin luka.
“Aku mencintaimu, Frida,” Hendra mengulangi kalimat mesra yang dia ucapkan nyaris setiap hari. Frida mengangguk bahagia.
“Aku tahu, Mas. Aku juga mencintaimu. Selalu.”
Hendra membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh istrinya, juga syal tebal yang melingkari leher. Udara malam ini sedikit dingin dan berangin. Mereka berdua berada di halaman belakang rumah sakit yang cukup luas tanpa pepohonan besar. Dari sini langit malam terlihat jelas.
Frida terbatuk sedikit. Hendra sigap menyeka bibir Frida dengan sapu tangan.
“Masih lama ya, Mas?” tanya Frida. Hendra melihat jam di tangan kanannya. “Mestinya sih sudah dimulai.”
“Mas bilang apa ke dokter Fauzi?”
Hendra tertawa kecil. Lalu dia mulai bercerita tentang perdebatannya dengan dokter yang merawat istrinya. Perdebatan yang diakhiri dengan penandatanganan surat pelepasan resiko.
Frida tercenung mendengar cerita suaminya. “Ada kalanya resiko harus kita tempuh kan, Mas?”
Hendra menggenggam tangan istrinya. Dia menjawab dengan anggukan.
Tiba-tiba Frida membelalak. Tangannya terangkat menuding langit.
“Mas!” serunya,”Sudah dimulai!”
Di angkasa yang jernih, kilasan-kilasan cahaya datang silih berganti. Pendarnya menerobos lintasan langit. Sebelum cahaya yang satu hilang, cahaya lain datang. Menyemarakkan langit malam. Semesta seolah tengah berpesta. Frida memandangi fenomena alam ini dengan penuh haru. Matanya basah. Bibir Hendra terbuka hendak menjelaskan perihal hujan meteor Perseid yang didengarnya dari siaran berita pagi tadi. Tapi akhirnya dia memilih diam.
“Terima kasih, Mas.” Ada getar haru dalam suara lirih itu. “Setelah ini aku bisa pergi dengan tenang.”
Hendra menatap langit. Dadanya bergemuruh, sesak oleh ucapan istrinya. Dia memilih tetap diam.
“Aku yakin, Mas, ada anak-anak kita di antara cahaya di langit itu.”
“Sudahlah, Sayang,” Hendra mengingatkan. Frida terlanjur melanjutkan. “Anak-anak yang tak sempat kususui. “ Dia terisak sehabis mengucapkan kalimat itu. Air mata berguguran di pipinya. Frida mengelus perutnya. Rahimnya telah sepenuhnya dikuasai kanker. Anak-anaknya tak mampu bertahan di dalamnya.
“Aku akan selalu mendampingimu, Sayang,” Hendra mencoba menenangkan istrinya. Dielusnya rambut Frida. Frida memejamkan mata.
“Kau mau kuceritakan lagi tentang kejadian lucu saat pertama kita bertemu?” tawar Hendra.
Frida mengangguk. Hendra mulai bercerita. Sesekali Frida menimpali, tersenyum, bahkan ikut tertawa kecil. Dia merasa sungguh beruntung, memiliki Hendra yang selalu di dekatnya. Dia merasa batinnya demikian tenang. Damai. Sangat damai.
Hendra menghentikan kalimatnya setelah beberapa saat Frida tak lagi menanggapi. Baru Hendra sadari, tangan Frida telah dingin dalam genggamannya. Sepasang mata indah itu mengatup rapat, terlihat letih. Tapi ada senyum tersungging di bibir. Hendra terisak dan memeluk erat tubuh kekasihnya untuk terakhir kali.
------
Cerita asli bisa dibaca di sini.
No comments:
Post a Comment