Sketsa oleh Betty Sanjaya
Asap bakaran ikan menyeruak dari dapur
Emak. Aromanya terbawa angin hingga terhirup oleh hidung mungil Mimi,
namun dia tetap bergeming. Gerakan ayunan ban yang dinaikinya sudah
terhenti sejak tadi. Keteduhan pohon ketapang di mana ayunan itu
terikat, menaungi wajah Mimi, menambah kesenduannya Minggu siang itu.
“Mimi ….”
Mimi mendongak dan melihat emaknya sudah berdiri di depannya.
“Emak panggil kamu dari tadi.”
“Oh, maaf, Mak. Mimi nggak dengar.”
“Sudah hampir azan zuhur. Abahmu sudah ke masjid dari tadi. Ayo, masuk. Kita siap-siap sholat,” ucap Emak sambil mengulurkan tangan.
Mimi merosot turun dari ban dan menyambut uluran tangan emaknya.
“Setelah abah pulang dari masjid, nanti kita makan ikan bakar kesukaanmu ya. Tadi abah dapat hasil pancingan lumayan banyak.”
“Iya, Mak,” sahut Mimi seadanya.
Mereka lalu melangkah masuk ke gubuk mereka yang hanya berjarak beberapa meter dari pohon ketapang.
*****
“Mak, badan Mimi panas,” ucap Mimi sambil meraba dahinya sendiri. “Besok Mimi nggak usah sekolah ya ….”
“Iya, Sayang. Sekarang kamu tidur. Semoga besok pagi sudah sembuh ya.” Emak lalu menyelimutkan kain seprai usang ke badan Mimi. Dia heran, karena badan anak semata wayangnya yang duduk di kelas empat sekolah dasar itu sama sekali tidak panas.
“Ada apa, Mak?” tanya Abah yang baru pulang dari masjid usai sholat isya. Sarungnya sudah terganti dengan celana kolor putih semata kaki.
Emak menarik tangan abah ke depan gubuk. “Mimi mengeluh demam, Bah. Padahal badannya tidak panas sama sekali. Emak curiga dia cuma pura-pura,” ucap Emak perlahan.
“Semoga dia tidak sakit beneran,” sahut Abah. “Oh iya, tadi Abah ketemu sama Fendi, temannya Mimi. Katanya besok kelas Mimi yang kena giliran jadi petugas upacara bendera.”
“Oh, begitu rupanya …,” gumam Emak sambil mengangguk-angguk.
“Begitu apanya, Mak?” tanya Abah keheranan.
“Ah, tidak apa-apa, Bah,” jawab Emak sambil tersenyum.
****
Senin pagi itu Mimi cerah ceria. Seragam putih-putih sudah dikenakannya. Dia lalu mencium tangan Emak dan Abahnya.
“Mimi berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam,” sahut kedua orang tua Mimi.
Mimi berlari kecil menyusuri jalan setapak di depan gubuk mereka. Saat melintasi pohon ketapang, Mimi mampir sejenak dan mendorong ayunan ban kuat-kuat. Dia segera menyingkir sebelum terkena ayunan balik ban itu.
Kedua orang tua Mimi tersenyum melihat kelakuan puteri mereka. Namun, senyum di wajah Abah tak bertahan lama.
“Maaf, Bah. Semalam Emak kehabisan ide. Kasihan Mimi kalau tidak pakai rok putih saat jadi petugas upacara. Bisa-bisa dia disetrap guru. Emak juga nggak mau Mimi pura-pura sakit. Abah kan tahu Mimi tidak punya rok putih lagi sejak tahun lalu.”
“Iya, Abah ngerti kok.”
“Di gubuk kita ini, cuma kolor Abah itu yang putihnya lebih baru dibanding yang lain. Mukena Emak juga sudah kusam.”
“Iya …,” sahut Abah pasrah sambil menunduk memandangi kolor putih yang dikenakannya, yang semula panjang semata kaki, menjadi celana pendek sepaha.
------
Cerita asli dapat dibaca di sini.
Hais keren. Kirain bakal horor.... :D
ReplyDeleteCerita yang manis... begitulah kasih orangtua. Sepanjang jalan...
ReplyDeleteIni sederhana dan keren :D
ReplyDelete