Thursday, 24 April 2014

Karya Terpilih Prompt #47: Penari

Oleh: Elok Wahyuni


prangbuta003

Ada hawa yang berbeda menjalar ke seluruh tubuh ketika aku memasuki ruangan ini. Bulu kudukku meremang, namun tubuhku terasa panas. Darahku seolah mengalir dengan derasnya melalui setiap pembuluh darah yang ada. Bau khas dupa dan kemenyan yang dibakar dan diletakkan di sudut-sudut ruangan semakin membuat darahku mendesir.

Aku bersandar di salah satu sisi pintu masuk mengamati tata ruang yang tidak jauh berbeda dari terakhir kali kutinggalkan. Sebuah panggung berlantai kayu. Tirai-tirainya berwarna merah menyala terbuka di sisi kanan dan kiri panggung. Di sayap kanan panggung terdapat seperangkat gamelan Jawa. Sementara di sayap kiri panggung tertata sound system dengan rapinya. Di atas panggung terdapat lampu-lampu halogen berwarna-warni yang bisa dinyalakan melalui ruang kontrol di seberang atas panggung.

Aku memejamkan mata. Mencoba menikmati atmosfer yang selama ini aku rindukan. Namun, konsentrasiku buyar tatkala suara gamelan memecah keheningan ruangan itu. Aku bergerak seirama dengan ketukan kendang. Awalnya, gerakanku hanya terbatas pada tempat di mana aku berdiri. Namun, semakin lama tubuhku telah bergerak menuju titik lain. Irama gamelan yang ditabuh pun semakin cepat temponya. Tubuhku seketika menjadi sangat ringan seperti kapas yang diterbangkan angin. Melayang-layang. Aku bergerak terus mengikuti irama yang kini sedikit berkurang temponya. Tubuhku meliuk-liuk, berputar, melompat. Sensasi yang terasa masih sama. Aku selalu merasa seksi ketika tubuhku menari-nari seirama dengan suara musik gamelan. Itu jauh lebih nikmat dari makanan terlezat sekalipun di dunia ini.

Tempo iringan gamelan yang ditabuh tiba-tiba meningkat. Cepat. Lebih cepat. Semakin cepat. Aku pun bergerak, berputar-putar. Terus berputar seperti gangsingan yang sedang dimainkan anak-anak.
“Hei!!!” tubuhku seketika jatuh tergeletak ketika aku mendengar bentakan itu. Aku mendengar suara ayah. Gamelan sirep*. Hening.

“Sudah berkali-kali Ayah katakan padamu ‘jangan menari!’. Kamu ini laki-laki! Harus tegas! Apa gunanya Ayah memasukkan kamu ke akademi militer jika masih saja menari tiap mendengar suara gamelan!” suara Ayah menggelegar di auditorium itu.

Mataku masih terpejam. Tubuhku lunglai. Ayah menyeretku turun dari panggung. Disandarkannya aku di tembok.

“Kamu harus jadi tentara. Bukan penari!” bisik Ayahku sambil mencengkeram kedua lenganku.

*) Sirep: irama gamelan yang dimainkan secara lirih

Ilustrasi gambar dari sini.

---------

Cerita asli dapat dibaca di sini.
Yang membuat cerita ini menonjol dibandingkan dengan cerita yang lain adalah ide cerita, dan kesederhanaannya. Konsep "candu" tidak serta merta diceritakan secara vulgar, tapi tersirat dalam cerita. Show, not tell :)
Congrats.

No comments:

Post a Comment