Oleh Desi Darmayanti
===================
“Saya tahu Anda tidak bersalah. Saya tahu.”
Setelah mengucapkannya, lelaki itu menghela napas. Lelah. Kepalanya begitu penat, seakan dijejali berkarung-karung beras yang butirannya padat dan tak terhingga. Ia coba memijat pelipisnya, berharap dengan tindakan sepele itu ia bisa mengangkat beban pikirannya barang sedikit. Sedikit saja.
Namun tetap saja, tik tik tik waktu pada jam dinding seperti mengejeknya.
Menertawakannya, karena perempuan yang ada di hadapannya tak kunjung memuntahkan aksara yang ia minta.
“Nona Ligia, saya masih bisa melihat harapan Anda untuk terbebas dari semua tuduhan ini,” paparnya dengan penekanan pada semua kalimat, berharap telinga perempuan muda di hadapannya bisa menangkap kalimatnya, harapan yang terkandung di dalamnya, bahwa hidupnya tidak harus berakhir seperti ini. “Semuanya bisa terwujud asalkan Anda mau berbicara di depan hakim dan mengatakan kebenaran bahwa bukan Anda yang membunuh Qizan,” lanjutnya.
Sekali lagi, perempuan itu hanya menunduk, mendengarkan kata demi kata yang terucap dari pengacara sewaan keluarganya. Jemarinya saling mengait, gelisah seperti takut kehilangan satu sama lain. Begitupun dengan bibirnya yang memucat.
“Lupakan saya, aku tahu kau orang yang baik, Ligia. Kau juga ingin aku memercayai itu, ‘kan?”
Kedua belah bibirnya tidak pernah melepaskan pelukan satu dari yang lain.
Tidak pernah.
Dan itu pula yang membuat lelaki di hadapannya jengah.
***
Hari persidangan terhadap tersangka Ligia Anumerta atas tuduhan terhadap pembunuhan kekasihnya, Qizan Almathariq, sudah tiba. Pengacara Ligia yang bernama Yuzaiq sudah duduk di posisinya, menatap dengan sendu punggung rapuh sahabat karibnya.
Ia sudah menyampaikan pembelaannya dengan segenap yang ia mampu, semenekankan yang ia bisa, hingga dari kilat mata hakim yang ada di sana, ia tahu, ia bisa membalikkan fakta tak masuk di akal yang disuguhkan atas nama dendam tak beralasan kuat keluarga korban. Ia tahu, kasus ini akan menjadi kasus yang tidak rumit.
“Jadi, Nona Ligia, bisakah Anda menjelaskan sedikit saja, apa yang Anda ketahui tentang pembunuhan Saudara Qizan?” Hakim bertanya dengan tatapan yang seakan mengebor iris mata perempuan itu.
Seisi ruangan dihadang kesenyapan yang luar biasa. Senyap, sesak, tegang, berbagai perasaan memenuhi ruangan sidang yang tengah membisu menunggu Ligia mengucap sesuatu.
Apapun. Apapun itu.
Yuzaiq hanya bisa memandang punggung yang tengah gemetaran itu dengan tatapan memohon. Berkatalah sesuatu Ligia, untuk kali ini saja, untuk hidupmu.
Namun yang terdengar dari gadis itu adalah suara napas yang tersendat-sendat. Yuzaiq tidak bisa lagi menahan dirinya, ia bangkit dan menghampiri klien sekaligus sahabat sedari kecilnya itu.
Peluh sudah membanjiri wajah pucatnya, bibirnya terbuka seperti ikan, namun tak ada kata yang keluar, jemarinya saling meremas, saling menyalahkan dan matanya melotot seperti hendak melepaskan diri dari pelukan kelopak matanya.
Glossophobia*-nya ….
“Sidang tak bisa dilanjutkan! Pending untuk minggu depan!” teriak Yuzaiq yang sadar bahwa fobia yang dimiliki sahabatnya itu kembali merasuki tanpa ampun.
Tak lama setelah mendengar itu, Ligia memuntahkan kesadaran dirinya. Ia tidak kuat lagi menerima paksaan untuk berbicara, sekalipun demi dirinya sendiri.
***
Keesokan harinya, Yuzaiq hanya bisa termangu ketika melihat sahabatnya benar-benar serius memilih tidak pernah berbicara lagi.
Di sel tahanannya, ia tergantung dengan seutas tali terbelit di tenggorokkannya. Ah, perempuan itu mati seperti yang diinginkannya.
.Selesai.
*Glossophobia: Takut berbicara di depan umum, atau takut mencoba untuk berbicara.
===============
Postingan asli bisa dilihat di sini.
Thursday, 6 March 2014
Latree Manohara
Home
Desi Darmayanti
Karya Member
Karya Terpilih
Latree Manohara
Karya Terpilih Prompt #40: Katakan.
Karya Terpilih Prompt #40: Katakan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Menegangkan! Drama pengadilan yang menarik.
ReplyDeletedrama yg dramatis,... keren mba. Saya banyak belajar disini mba latree :)
ReplyDeletehiks, yuzaiqnya gak bisa kasih kesaksian ya kalo sahabatnya menderita phobia? kasihan...
ReplyDelete