Tuesday 3 December 2013

Monday Flashfiction : Poem Stage

It’s the Final Four!

Ibarat cerita fiksi dalam sebuah lakon layar kaca, keempat The Writer yang bertahan adalah para jawara yang memiliki kekuatan masing-masing. Kekuatan itu akan dipergunakan untuk menghasilkan karya terbaik, saling mengungguli satu-sama lain, bersaing ketat demi meraih gelar terhormat : The Author. Minggu lalu Lianny Hendrawati yang baru pertama kali merasakan gerahnya kursi panas ternyata kalah voting menghadapi Jiah Al Jafara yang kembali selamat – untuk ke lima kalinya- dan harus meninggalkan panggung MFF Idol. Sementara itu Nina Nur Afifah kembali mencicipi manisnya madu posisi Top Writer.

Empat peserta masih bertahan. Beragam jenis tantangan telah berhasil mereka taklukan. Apalagi yang harus mereka hadapi kali ini? Empat The Writer yang tersisa harus mengejawantahkan rangkaian kata indah yang dijalin oleh seorang penyair menjadi sebuah flashfiction yang menggugah, membuat terperangah, atau mungkin membuat batin berpikir resah. Berhasilkah mereka?

Sebelum kita kulik lebih lanjut hasil karya The Writer minggu ini, seperti biasa kita simak terlebih dahulu peringkat minggu lalu :

1.    Nina Nur Afifah                       71,40 poin
2.    Sulung Lahitani Mardinata        70,20 poin

The Ghost Writer.
1.    Rieya MissRochma
2.    Jiah Al Jafara

Tema

Minggu ini setiap peserta diberikan satu dari empat buah puisi karya Adimas Immanuel, seorang penyair yang telah menelurkan karya berjudul “Pelesir Mimpi”. Berikut adalah empat puisi yang harus dikembangkan peserta.

1.    Memeluk Pendosa
Jika dirasa menguatkan, berdoalah. Tetapi doa tak akan mengubahmu jadi rumah, sebab telah kuputuskan: aku dosa yang akan terus mengembara.

Sebab jika sewaktu-waktu rindu, aku bisa kau peluk dengan lebih leluasa, tak dengan kesesakan yang kau rasa seperti ketika memeluk agama.

Solo, 2013


2.    Air Laut Yang Menerpa Wajah Kita
Apakah air laut yang menerpa sisi wajahku ini
adalah air laut yang menerpa wajahmu dahulu?

Begitulah, aku tak bisa membaca ombak di sini
sebab abjad-abjad dalam tubuhnya adalah murni,
sementara kesadaran berbahasaku sudah cemar,
ia kumpulan pelbagai cerita usang dan kecabulan.
Dalam tubuhku tinggal penyihir, yang memantrai
kata dengan bangkai, yang menyitir rapalan kuno,
menerakan tulah kemarau, mematikan rona hijau
daun angsana yang mekar di kening para santo.

Tetapi aku juga membatasi diri, enggan didikte,
meski abjad-abjad dalam tubuhnya masih putih,
sebab seperti pilar-pilar cahaya dari sebuah kota
yang tak dibangun dengan darah dan barah,
kesadaran yang dipunyainya tak pernah jadi kuk,
tak pernah menyangga kelumpuhan dalam diriku.

Apakah air laut yang menerpa sisi wajahku ini
adalah air laut yang menerpa wajahmu dahulu?

Begitulah, aku tak bisa membaca ombak di sini.
Aku hanya bisa menerka-nerka, menakar-nakar,
hanya menggariskan prasangka, hanya menyentuh
bayang di dedaunan tanpa bisa menembus akar.
Aku seperti pemahat yang malah mematung
ketika seorang pertapa memberitahunya bahwa
kesendirian adalah sebuah ihwal, ia bebatuan
paling keras, tak bisa dibentuk menjadi apa pun.
Maka pertapa itu membiarkan dirinya cair saja,
ia leleh dalam lelah orang kota yang gagal bedakan:
mana dengus napas dan mana dengus bahasa.

Bahwa kesendirian hanya bisa dikawal,
hanya bisa disuluhi, seperti dua arus yang berlari,
membawa dingin dan hangat pada suhu tubuhmu,
tanpa pernah bisa membuat tubuh itu meriang
dengan riang, karena dipusingkan pertanyaan:
mana yang lebur dalam bayang-bayang,
mana yang luber dalam sembahyang.

(Tak soal air laut mana yang menerpa sisi wajahku,
setidaknya ia peram pertanyaan dan keraguanku,
soal air laut mana, yang menerpa wajahmu dahulu.)

Ujung Gelam, 2013

3.    Knop
kerja kemanusiaan
haruslah praktis,
digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri,
kepala-kepala dirajah
kening disetrika perintah.

ini harga mati
tak ada garansi.
macet urus sendiri
mereka hanya tahu
mulut harus terkunci.

perspektif jatuh harga
yang laku yang mekanis,
digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri,
hasrat-hasrat tak puas
tinggal cari tuas:
satu tombol
untuk satu kesadaran.

digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri
pikiran harus dikebiri
kita semua adalah pintu
yang dipasangi knop.
sesuai atau malah usai
yang penting klop.

Solo, 2013


4.    Orang-Orang Berdasi
orang-orang berdasi
di negeriku
seperti burung-burung
yang datang bermigrasi
untuk kawin lalu pergi.

hanya tinggalkanku tahi
tinggalkan nyeri

orang-orang berdasi
di negeriku
seperti angin-angin
yang oh sejuk sebentar
lalu membawa debu
dan ketiadaan kabar

sisakan kerut di dahi,
esok makan apa?
esok hutang ke siapa?
apa angka-angka
dan jelimet statistikamu
bisa menggagalkan
robohnya gubukku?

Semarang, 2013

Menarik bukan? Penasaran seperti apa hasil penafsiran peserta atas puisi-puisi di atas?

Penilaian Juri

Juri Carolina Ratri secara umum menilai karya peserta kali ini cukup memuaskan meski ada yang masih tertatih dalam puntiran cerita dan logika. Juri Latree Manohara mengamini pendapat Carolina Ratri pun begitu juga dengan juri Isti’adzah Rohyati yang menambahkan bahwa poin EYD masih saja menjadi batu sandungan bagi sebagian peserta. Sementara juri tamu yang juga pemilik puisi-puisi yang ditafsir-ulangkan oleh peserta, Adimas Immanuel, menyatakan bahwa dia senang membaca karya-karya peserta dan mendapat banyak kejutan dari situ.

Bagaimana penampilan peserta kali ini?

Menafsirkan puisi berjudul “Memeluk Pendosa” ada Nina Nur Afifah yang menghantarkan cerita bertajuk “Ketika Ammar Bosan pada Tuhan”. Judul yang provokatif dan menarik perhatian, bukan? Tapi apakah itu dibarengi dengan kisah yang menarik perhatian juga? Juri Carolina Ratri menolak berkomentar mengenai cerita ini. Takut dosa, katanya. Sementara Latree Manohara menyoroti kondisi bertentangan yang diceritakan penulis terhadap kondisi Ammar. Diceritakan pada bagian awal penyebab Ammar ‘bosan’ pada Tuhan,yaitu karena diberi anak yang cacat dan kondisi keuangan yang ambruk. Padahal pada bagian akhir disebutkan bahwa ‘pundi-pundi uangnya tak lagi tersumbat’. Juri Adimas Immanuel menyukai cerita ini. Menurutnya cerita ini memiliki ide dan alur cerita yang memikat, diksi yang sederhana tapi mengena serta puntiran akhir yang mengejutkan.  Namun tampaknya juri Isti'adzah Rohyati memiliki pendapat yang sedikit berbeda dengan Adimas. Baginya, puntiran cerita ini tidaklah istimewa. Dia bahkan menyarankan agar  jika perlu dua paragraf terakhir dihilangkan untuk membuat puntirannya terasa ‘nendang’. Apakah komentar beragam dari juri membuat Nina Nur Afifah terpuruk ke kursi panas atau mengantarkannya pada posisi aman di Top 3?

Lalu ada Jiah Al Jafara yang mengembangkan puisi berjudul “Air Laut yang Menerpa Wajah Kita” menjadi cerita berjudul “[Tak] Kembali”. Karya Jiah Al Jafara yang ini menuai banyak komentar negatif. Simak saja pendapat Isti'adzah Rohyati yang mengatakan bahwa jeda pada bagian kedua terasa sangat mengganggu. Carolina Ratri mempertanyakan perihal kapal yang tiba-tiba terbalik tanpa ada penjelasan logis mengapa hal itu bisa terjadi. Selain itu dia mengkritik penggunaan frase “menggigil seperti mayat”. Lucu, katanya, memangnya mayat (bisa) mengigigil? Juri Latree Manohara mengamini pendapat Carolina Ratri. Yang sedikit melegakan adalah pendapat dari Adimas Immanuel yang mengatakan bahwa alur cerita ini terjalin apik dan komponen lainnya cukup. Entah apa yang Adimas Immanuel maksudkan dengan komponen lainnya. Apakah kali ini Jiah Al Jafara mendapat poin cukup dari para juri untuk menghindarkannya dari kursi panas untuk yang keenam kalinya?

Berikutnya ada puisi “Knop” yang ditulis ulang oleh Rieya MissRochma menjadi cerita pendek berjudul  “Terkurung Jeruji Kuasa”. Apakah juri-juri suka dengan hasilnya? Adimas Immanuel mengatakan kisah ini cukup dekat dengan kehidupan nyata meski diksi yang dipakai terlalu banal alias biasa-biasa saja. Juri Isti'adzah Rohyati memberi komentar panjang mengenai kisah ini yang pada intinya menyatakan bahwa cerita ini memiliki banyak lubang yang bisa dipertanyakan. Sedikit ‘tips’ dari Latree Manohara adalah umumnya cara mark up adalah tidak dengan mengajukan rencana pembangunan empat kantin lalu dibangun tiga sebab hal itu jelas beresiko pada saat pemeriksaan oleh pihak berwenang. Cara umum adalah mengajukan rencana pembangunan untuk tiga kantin dengan dana yang sebenarnya cukup untuk membangun empat kantin. Tambahan lain dari Carolina Ratri adalah pembangunan kantin tidak berkorelasi langsung dengan jargon ‘suksesnya program pendidikan’ yang dimaksud penulis. Semestinya pembangunan laboratorium atau perpustakaan yang lebih mengena.

Terakhir ada Sulung Lahitani Mardinata yang menceritakan puisi “Orang-orang Berdasi” dalam “Menyeret Keranda Ninja”. Juri memberi pujian  sekaligus saran buat cerita ini. Adimas Immanuel misalnya menyebut kisah ini memiliki diksi mumpuni dan puntiran yang meledak. Carolina Ratri mempertanyakan arti ‘ninja’ pada cerita ini. Lalu pemilihan akhir cerita yang berkisah bahwa si anak menawarkan pada orang pabrik untuk menggiling jasad ayahnya sebab mereka tak mampu menyelenggaran pemakaman, apa yang membuat si ‘aku’ berpikir bahwa orang pabrik akan mau membeli? Ataukah ini perlambang rasa putus asa yang demikian dalam? Sementara itu juri Latree Manohara dan Isti'adzah Rohyati sepakat mengenai penggunaan kata ‘ubak dan umak’ yang semestinya menggunakan huruf kapital dalam cerita.

Jadi, di antara empat karya yang telah dibedah oleh para juri, manakah yang akan memeroleh gelar Top Writer sekaligus mengamankan posisi di Top 3?

Menggeser posisi Nina Nur Afifah minggu lalu, kini Sulung Lahitani Mardinata yang duduk gagah di kursi Top Writer. Sementara tiga peserta lainnya mesti duduk di kursi panas dan menanti nasib di tangan pemilih.

Setelah dilakukan penghitungan suara, peserta pertama yang diselamatkan oleh pemilih adalah Nina Nur Afifah dengan karya “Ketika Ammar Bosan pada Tuhan” dengan perolehan fantastis, 82% suara. Sisa suara 18% diperebutkan antara Rieya MissRochma dengan cerita “Terkurung Jeruji Kuasa” dan Jiah Al Jafara yang menghantarkan kisah “[Tak] Kembali". Apakah jimat keberuntungan Jiah Al Jafara masih cukup ampuh kali ini? Ternyata baik Jiah Al Jafara dan Rieya MissRochma sama-sama memeroleh hasil 9% suara. Untuk memecah kebuntuan ini, pembawa acara Harry Irfan meminta Sulung Lahitani Mardinata selaku Top Writer untuk memberi suara pada salah satu dari dua cerita. Mesti diingat, saat memilih, Sulung Lahitani Mardinata tidak mengetahui cerita siapa adalah milik siapa.

Ternyata, kali ini Jiah Al Jafara benar-benar telah kehabisan ramuan keberuntungannya. Sulung Lahitani Mardinata memberikan suaranya pada Rieya MissRochma sekaligus menutup jalan bagi Jiah Al Jafara untuk melanjutkan langkah di panggung MFF Idol. Terimakasih Jiah atas segala usaha yang telah diberikan untuk gelaran ini. Tetaplah semangat dan terus berkarya. Salam. 






*****

Seperti apa tantangan untuk minggu depan? Selangkah lagi menuju grand final, peserta Top 3 diharuskan membuat dua buah cerita. Cerita pertama berkolaborasi dengan salah satu juri yang mereka pilih dan cerita kedua mengharuskan mereka menyatukan ide dengan sesama peserta dalam sebuah kisah yang memiliki tiga bagian namun tetap saling berhubungan. Saksikan keseruannya minggu depan.




1 comment:

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *