Friday, 14 June 2013

Pemerkosaan Yang Kita Lakukan Terhadap Flash Fiction Yang Kita Tulis Sendiri.


Sadar nggak sih, kita sering melakukannya ketika menulis flash fiction?

Berulang  kali kita bahas, bagaimana flash fiction adalah sebuah ruang yang sempit untuk menceritakan sebuah konflik dengan bantingan di akhir cerita. Karena itu lah kita sering tanpa sengaja  melupakan logika, menciptakan lubang-lubang. Kadang sebenarnya kita menyadarinya, tapi abai dan membiarkan tulisan kita begitu adanya. Lalu dengan ringan melempar alasan: yah namanya juga dibatasi karakter, susah mau menjelas-jelaskan. Padahal yang harus kita lakukan bukan menjelas-jelaskan, tapi mencegah adanya lubang itu.

Belum lagi kesibukan kita menciptakan twist, yang akhirnya menghasilkan cerita yang berputar berbelit, mengundang banyak pertanyaan. Lalu kita sibuk menjelas-jelaskan ketika orang bilang tidak mengerti maksud ceritanya. Flash Fiction tidak begitu. Dia mestinya langsung membuat pembacanya menangkap apa yang ingin disampaikan. Jika ada satu dua yang tidak mengerti, oke lah, anggap saja yang tidak mengerti itu lemot. Tapi jika hanya satu dua yang mengerti, dan hampir seluruh sisanya harus mendapatkan penjelasan, boleh disebut ff kita gagal.

Ada lagi pemerkosaan yang kita lakukan, yaitu menciptakan jebakan yang tidak adil. Tidak wajar. Tidak netral.

Dalam sharing kali ini akan dibahas kritikan Mas Aulia Muhammad terhadap dua tulisan admin tersayang, Latree dan Carra. Sengaja tulisan admin yang dipilih, untuk menunjukkan bahwa admin pun sedang dan akan terus belajar menulis flash fiction dengan baik...

Yang pertama FF milik Carra, remake Prompt #1 G-String Merah. 

Di sini Carra membuat jebakan dengan mengarahkan pembaca agar berpikir bahwa Dion adalah laki-laki.  Selain dengan clue rambut pendek spiky, terutama juga dengan namanya.

Dan ini lah komentar Mas Aulia:
Ada cerita yang sengaja dibikin menyesatkan, ada cerita yang sesat sebagai strategi penceritaan. Cerita misteri misalnya, dia tidak menyesatkan pembaca karena tersedia berbagai kemungkinan yang membuat kita mengangguk-angguk di akhir cerita.
Cerita yang sesat sebagai strategi penceritaan harus dilakukan dengan netral. Apa yang dilakukan Carra itu cara yang ''tak bagus'', terlalu gampang. Jika mau bermain di ''nama'', ada model yang lebih wajar. Nama itu bukan disebutkan narator. Jika nama disebutkan narator, kesesatan itu disengaja, bukan sebuah ''pilihan yang diambil pembaca''. Harus dibedakan antara ''pembaca yang tersesat'' dan ''pembaca yang disesatkan'.
Jika diubah ke ''pembaca yang tersesat'', maka bisa begini: Seluruh nama Dion di bagian cerita, diganti jadi ''dia''. Itu wajar, ‘dia’ dalam bahasa kita bisa perempuan bisa laki-laki. Lalu di satu titik  kita buat pembaca mengambil kesimpulan yang bisa berbeda. Ketika Anin keluar dari kamar mandi, dia bisa menyapa langsung, ''Dion sayang....''. Jadi pelaku yang menyebut nama Dion, bukan narator.
Di bagian akhir, di berita, Dion itu bisa dijelaskan sebagai Dionita. Inilah yang namanya ''narator yang netral''.


Kedua, FF milik Latree dari prompt #15, Aku Mencintamu Sampai Mati. 

Pada FF ini, ada hal yang tidak wajar secara logika. Ini komentar Mas Aulia:
Adam polisi? Jika bukan, bunuh dirinya dibuat yang ringan-ringan saja, bukan pakai pistol. Kecuali settingnya di Amrik. Di Indonesia warga sipil susah mau punya pistol.
Argumen Latree: Jika bukan pistol, agak aneh jika Sinta mau mengaku sebagai pelaku, untuk menebus rasa bersalahnya.

Solusinya: Tetap bisa, alat bunuh dirinya racun. Jika ingin tetap pakai pistol, akan lebih wajar jika Adam itu seorang polisi. Dan untuk menunjukkan bahwa Adam adalah seorang polisi tidak perlu menambah kalimat penjelasan. Cukup dengan mengganti kalimat “Polisi sedang mencari tahu kenapa dia melakukannya” dengan “Teman-teman di kesatuannya sedang mencari tahu kenapa dia melakukannya."

***

Hal-hal seperti yang dibahas di atas itu, mungkin terasa sepele tapi sebenarnya vital.

Nah, bagaimana teman-teman? Apakah kita akan terus memerkosa tulisan kita, membiarkan kewajaran hilang, berdalih jumlah kata membatasi ruang cerita dan imajinasi? Ataukah kita akan mencoba belajar selalu berpegang pada logika dan berusaha menciptakan jebakan yang netral dan wajar?

13 comments:

  1. Sebuah koreksi yang sangat baik.

    Semangat selalu untuk MFF.

    Semoga semakin lancar dan sukses.

    ReplyDelete
  2. Saya menyimak.. sama sedang belajar :) Cuma... belum begitu pede untuk menulis FF :(

    ReplyDelete
  3. Hmm... *manggut2
    mencoba memahami tentang kewajaran...

    ReplyDelete
  4. koreksi dan pelajaran buat semua. hem jd garuk2, logika ceritaku sering bolong

    ReplyDelete
  5. Yap.
    Artikel ini membuat saya jadi agar semakin teliti dan berhati-hati sebelum ngeposting FF.
    Makin kesini, makin banyak hal yang saya pelajari dalam nulis FF :)

    ReplyDelete
  6. Menggigit bibir, karena sadar telah memerkosa karya sendiri.

    ReplyDelete
  7. jadi ternyata begitu ya..
    terima kasih sharingnya.. saya akan ingat2 jika menulis FF..

    ReplyDelete
  8. Masukan yang jleb banget :)

    ReplyDelete
  9. ternyata buat FF susah..hehe..dibatasi kata justru bikin kita harus pintar menyampaikan cerita, namun juga harus logikanya masuk. ini jadi peer gede buatku..soalnya suka bingung pemilihan kata katanya

    ReplyDelete
  10. Sekarang baru sadar, sepertinya aku sering memerkosa FF sendiri.
    Banyak bolongnya dan banyak maksanya
    Belajar lagi. Terima kasih MFF^^

    ReplyDelete
  11. Ini sangat bermanfaat. Aku baru tahu dan semoga FF selanjutnya bisa lebih baik.

    ReplyDelete

Followers

Socialize

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *