Oleh: Maniak Fiksi
Ujung jariku masih terasa perih. Agak basah. Aku sengaja mengulumnya. Menyesap darah asin yang sudah bercampur sabu.
***
“Apa untungnya kau terus mengejarku?” gadis manis di depanku terlihat semakin kurus. Matanya yang cadas, kini sendu penuh embun.
Aku masih duduk di depannya. Bergeming. Menikmati sisa indah yang sekejap muncul saat dia menangis.
“Makanlah, aku sudah membelikan cumi pedas kesukaanmu. Pil nyawa
sudah kutebus juga.” gadis itu beranjak dari ranjang, lalu mengambil
piring dan dua gelas kaca.
Kardus bekas mi instan kugeser ke bawah ranjang. Memberi ruang lebar di antara ranjang dan lemari. Meja lipat kubuka di tengah.
“Kau dapat uang dari mana lagi?” Dia membuka bungkusan sambil terus menatapku.
“Sudahlah itu bukan urusanmu.” Sesuap nasi langsung aku terbangkan ke
mulutnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan melahapnya habis.
“Kau tidak makan juga?”
“Sisamu saja kalau kau sudah kenyang.” Kusendokkan lagi dengan penuh nasi dan cumi.
“Jarimu?”
“Tidak apa-apa.”
“Kau…?”
Segera kuletakkan sendok dan beranjak membelakanginya.
“Habiskan makanannya. Jangan lupa minum Antiretroviral.” Aku lesap meski dia berteriak memanggil namaku.
***
Tubuhku bergetar. Keringat dingin membuatku kuyup. Sisa tenaga
kugunakan untuk mengambil jarum suntik di meja. Menusuki ujung jari
untuk kembali kusesap hingga tubuh kembali hangat.
Uang di dompet terlalu berharga untuk diriku. Tidak untuk memperpanjang hidupnya.
***
Sebungkus nasi hangat kutenteng dengan lauk kesukaannya. Dua minggu sekali seperti biasanya.
Gadis itu semakin pucat. Duduk di depan kamar kosnya. Begitu
melihatku datang, dia berdiri dan segera masuk ke dalam kamar. Dari jauh
aku masih mampu mendengar bunyi gebrakan yang kasar.
“Untuk apa kau datang lagi?”
Satu senyum aku berikan kepadanya. Meski separuh. “Membawakanmu obat
dan makanan,” aku mengambil piring dan menumpahkan nasi dan lauk di
atasnya.
“Lebih baik aku mati dari pada kau menyiksa dirimu sendiri. Aku ini
bukan apa-apamu!” Sesendok nasi kuluncurkan ke mukanya. Beberapa saat
sendok dari tanganku terlepas dan nasi berserakan di lantai.
Suasana membeku.
“Pergilah. Jangan kau sia-siakan hidupmu denganku!”
“Hidupku sudah sia-sia.” jawabku lemah sambil mengambil nasi dengan jariku. “Buka mulutmu dan makanlah.”
“Pergilah!”
“Aku ingin bersamamu!”
“Pergilah!”
***
“Tidak seorangpun mampu memisahkan kita, termasuk kau.”
Aku mengecupnya lemah seusai pergumulan panjang semalaman. Mungkin aku terlalu gila dengan mencintainya tak habis-habis.
Sekarang kami bisa berjuang bersama. Untuk hidup yang sudah kabur ujungnya.
****
361 kata
Img src: Heartmahadiba blogspot
---------------------------------------------
Original Post ada di sini.
Selamat :) Baru aja gabung udah langsung jadi karya terpilih. Semoga tetap ikut di prompt-prompt selanjutnya!
Selamat! Ceritanya emang keren.. :D
ReplyDeleteselamat!
ReplyDeleteaq aja skip nih promt :D