Dalam hal apa pun, teori dan praktik sepertinya tidak bisa dipisahkan. Bisa jadi teori dirumuskan setelah melalui beberapa praktik. Bisa juga teori dirancang terlebih dahulu untuk kemudian diterapkan dalam praktik.
Inti dari menulis fiksi sebenarnya adalah bercerita. Setiap hari kita bercerita. Bercerita tentang kejadian di kantor kepada suami atau istri. Bercerita tentang kejadian di rumah dengan teman-teman kantor. Bercerita tentang apa yang kita lihat di jalan, di trotoar, di bus. Kepada anak, kepada pembantu, kepada teman.
Yang berbeda adalah, materi ceritanya yang berupa rekaan. Selain itu, bercerita secara lisan pasti lah berbeda dengan tulisan. Banyak teori yang dibagi tentang bagaimana menulis fiksi. Di blog, di twitter, di buku-buku (semacam) 'how to'. Bahasannya juga berbagai macam. Mulai dari bagaimana menentukan tema, membuat kalimat pembuka, kerangka, sudut pandang, pembentukan karakter, ending, sampai aturan penulisan.
Segala teori yang tersebar ini, tentu saja bagus sekali untuk dikonsumsi. Apalagi bagi yang merasa dirinya pemula. Tapi tetap saja teori tak akan ada artinya tanpa praktik. Dan dalam praktik, pasti ditemukan hal-hal yang tidak 'match' dengan teori. Ini bisa kita anggap sebagai kesulitan, bisa juga ini dianggap sebagai tantangan. Bagaimana kita akan menyikapi kondisi yang tidak ideal sesuai teori.
Berbeda dengan tulisan ilmiah, tulisan fiksi seharusnya luwes. Tidak terpaku kaku pada aturan tertentu. Kecuali, tentu saja, aturan penulisan. Segala benar dan tidak benar bisa menjadi nisbi. Semua kembali kepada kenyamanan penulis, dan pembaca. Batasan-batasan akhirnya muncul menyesuaikan dengan 'keadaan'.
Misalnya tentang perputaran sudut pandang (bahasa kerennya twist PoV), bisa jadi membuat tulisan kuat. Bisa jadi sama sekali tidak perlu. Bisa jadi hanya membikin pembaca bingung.
Atau tentang kerangka. Secara teori, akan lebih mudah menulis cerita ketika kita membuat kerangka terlebih dahulu. Tapi sangat mungkin, tulisan kita justru menjadi lebih dahsyat ketika imajinasi dibiarkan melompat pagar kerangka. Barangkali kita akan menemukan pendukung-pendukung cerita yang lebih menarik. Atau ending-nya berubah. So what? Jika jadinya tulisan kita tetap bagus, tidak ada salahnya kan?
Sebagian orang (aku salah satunya) tidak begitu suka berpegang terlalu erat pada teori, dan lebih nyaman menulis dengan mengalir apa adanya. Tidak terlalu peduli cara menulis begini namanya apa, cara bercerita ini disebut apa, tidak tahu apa itu 'opening', 'point of view', 'outline', 'flashback'... Yang penting bercerita dari hati, berusaha menyampaikan ide kepada pembaca dengan selalu mempertimbangkan bagaimana pembaca bisa menikmati tulisan kita dan menangkap apa yang kita sampaikan.
Semua kenyamanan penerapan teori ke dalam praktik akan kita temukan sambil jalan. Bagaimana menemukan kalimat pembuka yang asik, bagaimana menentukan sudut pandang yang menarik, bagaimana menyusun alur cerita. Setiap orang akan menemukan 'teori' baru yang berbeda satu sama lain. Kamu nyaman dengan metode begitu, aku nyaman dengan cara begini.
Ibaratnya menjahit baju, ada teori mengukur, menggambar pola, memotong, menjahit. Toh setelah baju jadi dan dilakukan fitting, sering masih perlu dilakukan perbaikan di sana sini. Keahlian pun tidak bisa langsung sempurna. Selalu harus dilakukan berkali-kali sampai seorang penjahit menemukan cara mengukur, cara menarik garis dan lengkung pola, cara memotong, dan cara menjahit yang pas, agar baju yang dihasilkan bentuknya sesuai harapan, dan nyaman.
Jadi ayo kita banyak baca teori. Ayo kita banyak baca karya fiksi yang sudah jadi.
Ayo praktik menulis fiksi!
intinya sering praktek dan membaca y mba? ^_^
ReplyDeletebagiku, kalau menulis cerpen atau FF, cara ini oke-oke ajah mbak. tapi aku pernah mencoba membuat novel tanpa draft, ternyata juga sulit juga :)
ReplyDeletedraft tetap butuh, teori tetap butuh. apalagi untuk cerita yang panjang :)
aq lbh nyaman nulis pake feel tp ya tetep pelajari teorinya jg :D
ReplyDelete