Friday, 23 December 2016

Karya Terpilih [Quiz] Prompt #135 : Selepas Satu Malam Itu


oleh Ruby Astari

Bertemu denganmu adalah kesialan. Mengenalmu adalah kesalahan.

Bersamamu setara dengan kegilaan…meski sesaat.

Ya, mereka semua akan bilang aku melakukan kesalahan saat denganmu. Aku yang kata mereka sedang rapuh setelah patah hati terakhirku, sehingga tidak lagi mampu berpikir jernih. Kamu yang…ah, harus kusebut apa, ya? Bajingan? Tukang cari mangsa berupa mereka yang berjenis kelamin perempuan?

Pencari selingan? Ah, untungnya jadi kau, wahai laki-laki yang menganggapku menawan. Yang malam itu cukup lancang untuk menciumku, bahkan saat kencan pertama.

Yang langsung mengajakku ke kamar selepas makan malam, saat itu juga. Yang memberi saran konyol berupa role-playing:

            “Kita bisa jadi siapa pun yang kita inginkan malam ini.”

            Aku tersenyum. Ya, malam itu kuikuti saja permainanmu. Kita bisa jadi dua jiwa kesepian yang mencari pelampiasan. Persetan dengan moral! Aku muak terkungkung olehnya, sementara kalian para laki-laki bebas ke mana-mana dan “ngapain aja” – bahkan sama “siapa saja”.

            Mungkin, bagimu semua ini sama saja. Hanya rutinitas pengusir kebosanan sang petualang.

Lalu, bagaimana denganku?

Ah, entahlah. Sudahlah, aku tidak peduli lagi. Yang kutahu, kamu sangat tipikal. Kuyakin banyak sekali laki-laki sepertimu di luar sana. Ya, meskipun lagi-lagi mereka akan memberikan argumen basi yang sama, hanya agar aku tidak terlalu kecewa dan memandang suram pada cinta serta seluruh dunia:

“Tidak semua laki-laki…”

            Heh, mungkin benar. Tidak semua, tapi banyak, ‘kan? Seperti kamu contohnya. Bebas, tidak pedulian. Kamu ingin melakukan semuanya tanpa aturan maupun pengamanan. Sangat tipikal.

Setidaknya, kamu tidak pernah berpura-pura baik dan bermartabat, seperti mereka yang selalu berharap pada perawan di pelaminan, sementara mereka sendiri boleh suka-suka.

Pagi itu, kamu masih terlelap di ranjang kamar hotelmu. Semalam kamu bilang bahwa kamu terbiasa bangun siang, paling sekitar jam dua.

Cepat-cepat aku berpakaian. Lalu aku diam-diam keluar dari kamarmu dan kabur lewat tangga darurat gedung itu. Tidak ada ciuman, berbeda dengan semalam.

Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak perlu, karena kita berdua sama-sama tahu. Kita tidak akan bertemu lagi setelah malam itu. Mungkin kamu akan meneleponku. Mungkin aku yang tidak mau. Tidak ada untungnya bagiku.

Hanya satu yang mungkin belum kamu tahu…atau bahkan tidak akan peduli. Malam itu, aku memberimu hadiah dari mantan suamiku. Mungkin diam-diam kamu juga sudah punya atau barangkali ada juga yang lainnya.

Tidak masalah. Kita bisa saling bertukar racun, saling membunuh dalam diam. Tidak perlu bilang-bilang. Toh, malam itu kita juga sama-sama senang.

Selamat menikmati hadiah terkutuk dari mantan suamiku, yang pernah dia dapatkan juga entah dari siapa di luar sana. Yang kini dan selamanya bersemayam dalam tubuhku, membunuh janin yang pernah kami ciptakan berdua.

Hadiah yang tak pernah kuminta itulah bentuk penghargaannya…untuk seorang istri yang selama ini setia, penurut, dan lebih banyak diam di rumah saja…

***
Sejak mula hingga berakhirnya cerita, penulis konsisten menghadirkan aura sakit hati yang dirasakan tokoh aku. Rasa bencinya pada lelaki yang justru dimanifestasikan dengan menjadikan lelaki sebagai pelampiasan rasa sepi. Pembaca mungkin sudah bisa menebak muasal rasa benci itu, tapi tetap saja, ada 'kenikmatan' tersendiri ketika tahu tokoh aku merasa berhasil "balas dendam" pada lelaki. Selamat!

 
Baca juga cerita lainnya, ya..

Rifki Jampang - Pacar Sesaat
Carolina Ratri - Tuhan Kita Tak Sama
Junior Ranger - Sudah Terantuk Baru Tengadah
Sulung Lahitani Mardinata - Emas untuk Sambah
Chocovanilla - Bingkisan
Jiah al Jafara - Dia Bukan Anakku
Ruby Astari - Selepas Satu Malam Itu

No comments:

Post a Comment