Oleh: Desi Darmayanti
.
.0.
Akan kuceritakan suatu rahasia.
Kemarilah, dan biarkan aku membisikkannya padamu biar semesta tak tahu—terutama dia, lelaki kasar yang kupanggil ‘ayah’ku.
“Aku menyukai ayunan yang berada di depan rumahku.”
Kau benar, yang itu. Ayunan yang tergantung di bawah pohon
besar yang tak kutahu namanya itu. Ayunan itu juga nampak sama rapuhnya
dengan pohonnya. Tapi, masih kokoh lah untuk sekadar
digunakan untukku yang masih berumur sebelas tahun. Biar terbuat dari
ban bekas yang bau olinya masih mendominasi dan tambang yang
menggantungkannya di pohon besar itu hanyalah tambang bekas entah apa, aku selalu nyaman.
Ia melambungkanku ke langit biru, membiarkan cerahnya mengecup ujung
rambut kehitamanku. Ia selalu membawa angkasa semakin dekat dengan
hidungku, lalu membuat angin dengan riang mengusap rambutku—hampir
mengacak-acak, sebenarnya. Saat ayunan melontarkanku ke atas untuk
memeluk langit, ia seakan mengangkat kesedihan dari pundakku, dan ketika
ayunan itu meluncur ke bawah, ia seperti membantingkan gundah ke bumi
hingga porak poranda.
Dan yang paling penting, ayunan ini selalu menenangkanku selepas ayah
memukulku. Menenangkan, mengingatkanku akan timang yang diberikan ibu
kala waktu yang dulu. Ia bagai perwujudan Ibu.
Dan itu adalah rahasiaku.
Sore ini juga, aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan ayunan kesayanganku.
Mengendap-endap dari kamar, aku melewati ayahku yang mabuk karena
pengaruh minuman keras. Matanya nampak tak fokus dan mulutnya menggumam
entahlah apa. Aku tak peduli, tak mau mengganggunya. Lagipula memar di
tangan kiriku belum hilang benar. Aku tidak mau menerima pukulan lagi.
Maka, dengan senyum ceria, aku keluar dari rumah dan menghampiri
ayunan itu. Aku menyentuh ban yang tergantung di sana. “Halo, aku
kembali.”
Angin yang bernapas pelan di bumi menggerakkan ban itu, membuatnya seakan membalas sapaanku.
Senyumku melebar dan tanpa ragu aku menaiki ayunan itu. Dengan sekuat
tenaga, aku menggerakkan tubuhku agar ayunan itu juga bisa terayun.
Sulit sih, kalau bermain sendirian. Tapi tak apa, setidaknya kini tubuh kecilku sudah bisa menggerakkannya.
Ke depan, ke belakang, ayunanku bergerak semakin cepat, dan tawaku mulai mengudara.
Tapi, mendadak ayunan itu berhenti bergerak. Aku melihat ke belakang
dan mendapati ayah menahan ban dengan tatapan sedih bercampur marah.
“Berhentilah bermain di sini.” Bulu kudukku berdiri.
.
.
Tengah malam, aku kembali menghampiri ayunan itu. Langkahku lemas,
sempoyongan. Mataku panas, menahan lelehan air mata yang tertahan di
ujung mata. Aku menggigit bibirku, berusaha menahan erangan sakit yang
terasa setiap kugerakkan sendi tubuhku.
Ayah kembali memukulku, kali ini lebih menyakitkan dibandingkan
sebelumnya. Tapi, mataku tak sengaja melihat air mata pada pipinya dan
suaranya yang memanggil ibu dengan pilu.
Aku duduk di ayunan dan melihat ke atas. “Bu, aku tak tahan
lagi. Bolehkah aku memberitahu rahasia kita—kalau ibu selalu ada di sini
supaya ia tak mabuk dan memukulku lagi?”
Di balik gelapnya malam, di balik dedaunan rimbun pohon itu, kulihat
ibu di sana, duduk di dahan besar dengan leher berhiaskan bekas jeratan
tali. Ia menggeleng, “Jangan beritahu siapapun. Daripada itu ..”
Ia menatapku sendu, namun bibirnya mengulas senyum rindu. Tangannya yang pucat menunjuk tambang itu.
“Lebih baik ikutlah bersama Ibu.”
.
.
.
-------
Cerita asli dapat dibaca di sini.
keren.
ReplyDeleteHiks...sedih. Suka ceritanya. Ternyata ibunya mati gantung diri karena suaminya yang buruk perilaku itu ya. Dan akhirnya anaknya mengikuti jejak ibunya...bunuh diri juga. hiks
ReplyDelete