Wednesday, 14 May 2014

Karya Terpilih 2 Quiz Prompt 4: Sebuah Rahasia

Oleh: Desi Darmayanti

Image

.

.0.

Akan kuceritakan suatu rahasia.

Kemarilah, dan biarkan aku membisikkannya padamu biar semesta tak tahu—terutama dia, lelaki kasar yang kupanggil ‘ayah’ku.

“Aku menyukai ayunan yang berada di depan rumahku.”

Kau benar, yang itu. Ayunan yang tergantung di bawah pohon besar yang tak kutahu namanya itu. Ayunan itu juga nampak sama rapuhnya dengan pohonnya. Tapi, masih kokoh lah untuk sekadar digunakan untukku yang masih berumur sebelas tahun. Biar terbuat dari ban bekas yang bau olinya masih mendominasi dan tambang yang menggantungkannya di pohon besar itu hanyalah tambang bekas entah apa, aku selalu nyaman.

Ia melambungkanku ke langit biru, membiarkan cerahnya mengecup ujung rambut kehitamanku. Ia selalu membawa angkasa semakin dekat dengan hidungku, lalu membuat angin dengan riang mengusap rambutku—hampir mengacak-acak, sebenarnya. Saat ayunan melontarkanku ke atas untuk memeluk langit, ia seakan mengangkat kesedihan dari pundakku, dan ketika ayunan itu meluncur ke bawah, ia seperti membantingkan gundah ke bumi hingga porak poranda.

Dan yang paling penting, ayunan ini selalu menenangkanku selepas ayah memukulku. Menenangkan, mengingatkanku akan timang yang diberikan ibu kala waktu yang dulu. Ia bagai perwujudan Ibu.

Dan itu adalah rahasiaku.

Sore ini juga, aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan ayunan kesayanganku.

Mengendap-endap dari kamar, aku melewati ayahku yang mabuk karena pengaruh minuman keras. Matanya nampak tak fokus dan mulutnya menggumam entahlah apa. Aku tak peduli, tak mau mengganggunya. Lagipula memar di tangan kiriku belum hilang benar. Aku tidak mau menerima pukulan lagi.

Maka, dengan senyum ceria, aku keluar dari rumah dan menghampiri ayunan itu. Aku menyentuh ban yang tergantung di sana. “Halo, aku kembali.”

Angin yang bernapas pelan di bumi menggerakkan ban itu, membuatnya seakan membalas sapaanku.
Senyumku melebar dan tanpa ragu aku menaiki ayunan itu. Dengan sekuat tenaga, aku menggerakkan tubuhku agar ayunan itu juga bisa terayun. Sulit sih, kalau bermain sendirian. Tapi tak apa, setidaknya kini tubuh kecilku sudah bisa menggerakkannya.

Ke depan, ke belakang, ayunanku bergerak semakin cepat, dan tawaku mulai mengudara.

Tapi, mendadak ayunan itu berhenti bergerak. Aku melihat ke belakang dan mendapati ayah menahan ban dengan tatapan sedih bercampur marah.

“Berhentilah bermain di sini.” Bulu kudukku berdiri.

.

.

Tengah malam, aku kembali menghampiri ayunan itu. Langkahku lemas, sempoyongan. Mataku panas, menahan lelehan air mata yang tertahan di ujung mata. Aku menggigit bibirku, berusaha menahan erangan sakit yang terasa setiap kugerakkan sendi tubuhku.

Ayah kembali memukulku, kali ini lebih menyakitkan dibandingkan sebelumnya. Tapi, mataku tak sengaja melihat air mata pada pipinya dan suaranya yang memanggil ibu dengan pilu.

Aku duduk di ayunan dan melihat ke atas. “Bu, aku tak tahan lagi. Bolehkah aku memberitahu rahasia kita—kalau ibu selalu ada di sini supaya ia tak mabuk dan memukulku lagi?”

Di balik gelapnya malam, di balik dedaunan rimbun pohon itu, kulihat ibu di sana, duduk di dahan besar dengan leher berhiaskan bekas jeratan tali. Ia menggeleng, “Jangan beritahu siapapun. Daripada itu ..”

Ia menatapku sendu, namun bibirnya mengulas senyum rindu. Tangannya yang pucat menunjuk tambang itu.

“Lebih baik ikutlah bersama Ibu.”

 .

.

.

-------

Cerita asli dapat dibaca di sini.

2 comments:

  1. Hiks...sedih. Suka ceritanya. Ternyata ibunya mati gantung diri karena suaminya yang buruk perilaku itu ya. Dan akhirnya anaknya mengikuti jejak ibunya...bunuh diri juga. hiks

    ReplyDelete