Monday, 25 November 2013

MFF Idol Prompt: Poem Stage

Kepada kalian para pembaca dan penyalin kata, bagaimana tanggapan kalian terhadap tantangan kemarin? Seru? Sulit? Ah, bisa dilewatin juga kan?



Pekan ini kita memasuki babak empat besar, di mana kali ini kita akan mengangkat puisi, iya puisi.

Suka baca puisi? Saya sih tidak begitu suka karena kadang saya tidak paham atau mungkin karena saya saja yang malas memikirkan maknanya. Huahaha… Enggak kok, saya suka membaca puisi, meski jarang karena saya sebel tidak bisa bikinnya.. *dikeplak rame-rame

Seperti biasa, saya akan menyiapkan empat puisi utuh dan masing-masing The Writers akan berebutan memilih salah satu, teknisnya seperti biasa.

Pada babak ini, kalian diharuskan membuat FF berdasarkan interpretasi kalian atas puisi-puisi tersebut. Oh iya, saya lupa mengenalkan puisi siapa yang akan kita mainkan.
Ialah Mas Adimas Immanuel, baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya yang berjudul Pelesir Mimpi *yang covernya keren itu loh, Host belom baca isinya, tapi kata temen-temen sih kereeen, liat aja ntar contohnya puisi di bawah*
Dan, selain beliau bersedia kita menggunakan puisinya, Mas Dimas juga akan menilai karya The Writers, so, jangan bikin malu yaaa :p
Nah, ini dia pilihan puisinya:

1.    Memeluk Pendosa
Jika dirasa menguatkan, berdoalah. Tetapi doa tak akan mengubahmu jadi rumah, sebab telah kuputuskan: aku dosa yang akan terus mengembara.

Sebab jika sewaktu-waktu rindu, aku bisa kau peluk dengan lebih leluasa, tak dengan kesesakan yang kau rasa seperti ketika memeluk agama.

Solo, 2013


2.    Air Laut Yang Menerpa Wajah Kita
Apakah air laut yang menerpa sisi wajahku ini
adalah air laut yang menerpa wajahmu dahulu?

Begitulah, aku tak bisa membaca ombak di sini
sebab abjad-abjad dalam tubuhnya adalah murni,
sementara kesadaran berbahasaku sudah cemar,
ia kumpulan pelbagai cerita usang dan kecabulan.
Dalam tubuhku tinggal penyihir, yang memantrai
kata dengan bangkai, yang menyitir rapalan kuno,
menerakan tulah kemarau, mematikan rona hijau
daun angsana yang mekar di kening para santo.

Tetapi aku juga membatasi diri, enggan didikte,
meski abjad-abjad dalam tubuhnya masih putih,
sebab seperti pilar-pilar cahaya dari sebuah kota
yang tak dibangun dengan darah dan barah,
kesadaran yang dipunyainya tak pernah jadi kuk,
tak pernah menyangga kelumpuhan dalam diriku.

Apakah air laut yang menerpa sisi wajahku ini
adalah air laut yang menerpa wajahmu dahulu?

Begitulah, aku tak bisa membaca ombak di sini.
Aku hanya bisa menerka-nerka, menakar-nakar,
hanya menggariskan prasangka, hanya menyentuh
bayang di dedaunan tanpa bisa menembus akar.
Aku seperti pemahat yang malah mematung
ketika seorang pertapa memberitahunya bahwa
kesendirian adalah sebuah ihwal, ia bebatuan
paling keras, tak bisa dibentuk menjadi apa pun.
Maka pertapa itu membiarkan dirinya cair saja,
ia leleh dalam lelah orang kota yang gagal bedakan:
mana dengus napas dan mana dengus bahasa.

Bahwa kesendirian hanya bisa dikawal,
hanya bisa disuluhi, seperti dua arus yang berlari,
membawa dingin dan hangat pada suhu tubuhmu,
tanpa pernah bisa membuat tubuh itu meriang
dengan riang, karena dipusingkan pertanyaan:
mana yang lebur dalam bayang-bayang,
mana yang luber dalam sembahyang.

(Tak soal air laut mana yang menerpa sisi wajahku,
setidaknya ia peram pertanyaan dan keraguanku,
soal air laut mana, yang menerpa wajahmu dahulu.)

Ujung Gelam, 2013

3.    Knop
kerja kemanusiaan
haruslah praktis,
digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri,
kepala-kepala dirajah
kening disetrika perintah.

ini harga mati
tak ada garansi.
macet urus sendiri
mereka hanya tahu
mulut harus terkunci.

perspektif jatuh harga
yang laku yang mekanis,
digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri,
hasrat-hasrat tak puas
tinggal cari tuas:
satu tombol
untuk satu kesadaran.

digeser atau ditarik
diputar ke kanan atau kiri
pikiran harus dikebiri
kita semua adalah pintu
yang dipasangi knop.
sesuai atau malah usai
yang penting klop.

Solo, 2013


4.    Orang-Orang Berdasi
orang-orang berdasi
di negeriku
seperti burung-burung
yang datang bermigrasi
untuk kawin lalu pergi.

hanya tinggalkanku tahi
tinggalkan nyeri

orang-orang berdasi
di negeriku
seperti angin-angin
yang oh sejuk sebentar
lalu membawa debu
dan ketiadaan kabar

sisakan kerut di dahi,
esok makan apa?
esok hutang ke siapa?
apa angka-angka
dan jelimet statistikamu
bisa menggagalkan
robohnya gubukku?

Semarang, 2013



Gimana puisinya? Beragam tema dan keren-keren yah?
Silakan kembangkan menjadi FF kurang dari 700 kata. Genre bebas.
DL Kamis jam 21.00 yaah..
Selamat berpelesir ke mimpi masing-masing..

Salam mie spesial.