Oleh: Evi Sri Rezeki
Sebuah layar besar terpasang di kafe pojok jalan. Ruangan utama disesaki orang-orang melebihi kapasitas. Termasuk Joko yang duduk paling depan. Lelaki itu harus menyaksikan kemenangan klub bola kesayangannya dengan jarak dekat.
Tak sia-sia Joko memasang taruhan besar malam ini. Klub bola yang didukungnya membabat habis gawang lawan sampai putaran kedua. Beberapa kali tangannya meninju udara, disusul desahan kecewa teman-temannya.
Benarkan tebakanku! Si Umar, Nono, dan Saiful bego enggak mau percaya omonganku. Emang sih baru kali ini, intuisiku enggak meleset. Peduli setan! Yang penting sekarang aku bakalan kaya!
Pluit panjang penanda berakhirnya pertandingan berbunyi. Orang-orang mulai mendatangi meja bandar. Joko tidak merasa perlu terburu-buru. Toh, sebagian uang itu akan menjadi miliknya.
Joko memesan segelas bir lagi. Malam ini patut dirayakan. Lelaki itu memutuskan untuk menikmati suasana kafe lebih panjang. Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan.
Joko mendatangi Aidil, sang Bandar.
“Mana diutku? Menang besar nih!” ucap Joko sumringah.
“Duit pantatmu! Kamu kalah besar!” sahut Aidil sambil mengibas-ibas kertas berwarna merah. “Kamu kalah bukan berita segar. Kalau menang baru heran!”
“Jangan bercanda, Dil! Mana duitku?” Joko menarik kerah kaos Aidil.
“Lah kamu yang bercanda! Sana tanya si Umar! Makanya kalau taruhan, duitnya jangan dititip-titip segala. Salah pasang, modar kamu!”
Aidil mengibas tangan Joko dengan kasar. Perlahan Joko melepas cengkeramannya.
“Kunyuk si Umar! Dia memang enggak pernah percaya sama aku!”
Joko melengos meninggalkan Aidil yang kebingungan. Tangan lelaki itu terkepal siap menghempaskannya di hidung Umar yang sudah kabur di akhir pertandingan.
--------------------
Para admin MFF sepakat untuk memilih cerita ini karena cerita ini sederhana tapi rapi.
Original post ada di sini.
Keep writing, everyone!
No comments:
Post a Comment