Saturday, 27 April 2013

Dikritik dan Mengkritik: Siapkah?


Beberapa hari yang lalu, ada keributan sedikit di grup Facebook Monday FlashFiction. Keributan? Bukan juga sih, emang kalo di grup FB, MFF selalu heboh, baik ada topik bahasan maupun tidak. :D But, yang kemaren ini agak menarik, menurut saya.

Tentang kritik dan komen pedas.

Mbak Rini Bee, salah satu aktivis *ejiyeee* Monday FlashFiction, posting di blognya mengenai kritik pedas yang jadi makanan sehari-harinya. Dalam postingannya ini, Mbak Rini curhat perasaannya ketika menerima kritikan pedas dari para komentator Monday FlashFiction. Disebutkannya beberapa nama, termasuk saya, halaaaahhh... padahal saya ga pernah ngerasa pedas kalo kasih komen. Selalu manis. Iya kan? Iya kan? *nanya sambil acungin golok*

Jadi, pada awal saya membentuk grup Monday FlashFiction ini murni karena ketertarikan saya pada FlashFiction, dan dunia tulis menulis pada umumnya. Cuma selama ini, yang saya dapatkan hanyalah pujian-pujian geje, macam "Nice info, gan!" atau "Keren." atau "Wah, bermanfaat." ... and that's it!

Apa yang bisa saya dapat dari pujian-pujian yang, jujur saja, saya menganggapnya, bukan pujian yang ikhlas. Bahkan sebagian saya curiga, bahwa si komentator hanya ingin nitipin link-nya di blog saya aja. Hahahahahaha :)) terserah deh, mau anggap saya aneh, tapi itulah yang saya rasakan.

Buat saya, komentar yang begitu, ndak akan bawa perubahan apapun. Dapat pernyataan "keren", so what? Apa yang bisa saya dapatkan dari "keren" itu? NOTHING! Padahal saya mau belajar. Saya tahu saya bisa belajar. Saya tahu bisa LEBIH dari yang sekarang. Saya PENGEN lebih, dan saya PENGEN diapresiasi. Selain itu, udah pada tahu kan ya, gajah di pelupuk mata itu TAK PERNAH keliatan. Yang liat ya orang lain. Kita NDAK PERNAH liat.

Jadi itulah kenapa saya mendirikan grup ini. Selain untuk memberikan tantangan dan latihan pada diri sendiri, saya ingin tahu pendapat orang mengenai apa yang sudah saya tulis SEJUJURNYA. Di samping itu, saya merasakan sendiri, bahwa belajar bareng itu lebih FUN, karena ada lawan tanding. Saya sendiri adalah termasuk orang yang kompetitif, ini bisa berarti bagus sekaligus buruk memang. Tapi saya ambil sisi positifnya saja. Saya jadi terpacu untuk belajar lagi dan lagi. Saya harus lebih baik dari yang lain. Itulah semangat saya menulis.

So, pada awal mendirikan grup, saya sudah ngomong sama temen-temen yang sejak awal saya ajak belajar bareng, seperti Mbak Hana Sugiharti, bahwa ndak boleh takut mengkritik dan dikritik. Karena, dengan dikritik dan mengkritik ini kita sama-sama belajar.

Mengkritik: kita belajar jeli, belajar melogika, belajar membaca sebagai pihak ketiga yang berada di luar penulis. Ketika mengkritik sebaiknya kita juga ingat-ingat karya kita, kemarin kita nulis dengan kesalahan yang sama atau endak. Katakanlah, kita mengkritik EYD. Nah, pas kita nulis, berarti ingat bahwa kita pernah mengkritik orang tentang EYD, jangan sampai kita malah mengabaikan EYD. Something like that. Lucu kan ya, kalau kita ngritik EYD, tapi kitanya sendiri malah salah-salah mulu di tanda baca dan huruf kapital. Berarti ini secara tidak langsung kita juga belajar menggunakan EYD dalam tulisan.

Dikritik: tak ada penulis yang bebas dari kritikan. Jujur, kritikan dari Mbak Latree Manohara malah selalu saya nantikan. Begitupun kritikan dari Nyah Isti dan Pak Guru Sulung. Ada deg-degan ketika saya tahu mereka komen di tulisan saya. Kira-kira apa ya yang dikritik? Persis seperti yang digambarkan oleh Mbak Rini Bee.

"Kalau ada komentator jago macam mba Isti, mba Latree dan mba Carra serta mba Nurusyainie, eh mba Orin juga sih, atau semuanya deh, yang ngasih komentar di postingan saya, saya langsung narik napas dalam-dalam. Mempersiapkan segala kemungkinan. Terutama mental saya saat menerima kripik yang levelnya paling pedas.

Dan biasanya komentar mereka memang juara. Kenapa juara?

Karena kalau FF kita bagus ya mereka bilang bagus. Dan kalau emang jelek bin parah, ya itulah kenyataannya."

Ga kehitung saya debat sama Mbak Latree di inbox tentang tulisan, debat kusir tentang Cinderella dengan Nyah Isti juga di inbox. Semua saya tarik pelajarannya. Tapi ga kehitung juga, kritikan yang cuma sekedar saya tampung, karena saya ndak sepaham. Itu biasa menurut saya. Toh, sampai sekarang, bahkan tak ada yang bisa memastikan kaidah-kaidah tulisan yang paling bener itu yang mana. Kadang editor satu dengan yang lain saja berbeda kok. Penerbit satu dengan yang lain juga beda. Menurut saya, itu wajar. Tapi pada dasarnya saya ndak begitu suka konfrontasi langsung, biasanya ya saya biarkan saja. Cuma saya tanggapi dengan cengiran atau senyuman. Ndak usah didebat, kalau yang begini.

Bagi saya, setiap orang punya hak mem-follow up atau hanya menampung kritikan yang diberikan. Ndak ada yang boleh memaksakan. Ya, ini masalah selera :) seperti ketika tulisan terlalu banyak dialog itu kurang greget. Itu masalah selera, dan tetep liat-liat ceritanya. Semuanya tetap kembali pada penulis. Penulis tak akan bisa 100% menyenangkan semua pihak. Jadi ya, sudah. Ikhlaskan saja. Terima saja.

Jadi buat saya, kritikus dan yang dikritik itu dua-duanya harus siap mental dan sama-sama harus ikhlas. Kritikus, siap mental ketika kritikannya didebat atau dikritik balik, harus ikhlas ketika kritikannya tidak di-follow up. Yang dikritik, begitu tulisan sudah dipublish, harus siap mental akan datangnya kritikan, baik yang pedasnya level 10 apa level 1, dan harus ikhlas juga. Kritikus harus ikhlas ngasih kritik, jangan cuma bilang "keren" supaya nanti tulisannya juga dibilang "keren" :P

Keduanya bisa salah bisa benar, tak ada yang 100% benar atau 100% salah. Kembali semuanya hanya opini pribadi. Begitu sudah dilontarkan ke luar, ya sudah, menjadi milik publik dalam artian ya sudah ikhlaskan saja :)



Mbak Ajen Angelina, pernah posting juga di wall grup:


Seorang penulis amatir berguru pada seorang profesor dalam bidang sastra. Dia menyerahkan naskah ceritanya kepada sang profesor untuk dibaca. Setelah dibaca profesor membuang naskah itu ke lantai dan bilang
"Ini Sampah!"
Si penulis amatiran memungut naskahnya dan mengembalikan ke tangan profesor. Katanya:
"Kalau ini sampah, bisa tunjukkan yang mana sampahnya toh sampah bisa sidaur ulang?"
Profesor tersenyum dan menjabat tangannya.
"Kau telah lulus ujian 1 menjadi penulis: Menerima kritikan dengan lapang dada dan mencoba mencari cara untuk mengungkapkan kekuranganmu."

Percayalah kritikan itu sakit! Sakitt banget, mannn :D tapi yang tahu diri dan kualitas kita yah kita sendiri. Mengutip kata Moehamad Dipnogor (seorang sastrawan) "jangan jadi penulis kalau Anda takut dikritik!"
Jadi menulislah! Kalau ada yg mengkritik ambil hikmahnya! :)
Fyuhhhhh!!! Bener apa bener, tuh? :D Jadi, siapkah kamu dikritik dan mengkritik? ;)

19 comments:

  1. Saya siap dikritik. :D
    Tetapi memang bagi saya, kadang nggak mudah ngasih kritikan. Kadang nemu sebuah tulisan yang kurang sreg di hati, tapi bingung mau ngungkapinnya gimana. Ujung2nya nggak jadi ngasih kritik deh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. He3 idem sama kakaakin :D

      Delete
    2. setuju ma kakaakin...

      pengen banget ngasih kritik tapi ya takut si empunya ga berkenan...
      sekarang jadi malah jarang ninggalin jejak, karena ujung2nya saya cuma bisa komen "keren"..hehe

      Delete
  2. Aq jaraaaaaang banget disamperin mak carra U_U apa salahku padamu maaaaak @_@
    Pak guru sulung seringnya aq panggil mbak xixixixi...
    Mbak latre always kasih saran oke ;)

    etapi aq lagi liburan FF, smg habis launching bebi ntar bisa segera aktif di ff lagi. Missing so much deh lirik sana-sini sendirian cari ide xixixxi....

    ReplyDelete
  3. setuju sama kakaakin, saya suka diklitik tapi bingung kalo disuruh nglitik #eh :D

    ReplyDelete
  4. Kalo saya biasanya terbuka aja sama kritikan, pun sepedas bhut jolokia selama itu emang objektif disampaikan untuk memperbaiki kekurangan kita. Bukan buat trolling. Tapi lagi, kalau karya yang dikritik itu emang perlu dikasih bhut jolokia, saya pastikan saya juga ngasih dessert-nya, bisa es krim bisa permen. :D Misalnya memuji idenya, cara penyampaiannya, atau yang lain yang secara jujur saya temukan kalau emang bagus. Soalnya gak semua orang siap dikritik ... dan gak setiap orang memang butuh kritik. Sampai di sini, biasanya saya cuman ngasih kritik sama orang yang emang minta. Jadi kalo ada teman yang minta proofreading dan serius memang lagi nyari plothole, inkonsistensi cerita, OOC, ya dibantu sebisanya. Tapi jatohnya ini kan diminta, yang minta emang pengen nyari, jadi biasanya gak berakhir tersinggung. :D

    Mungkin itu juga yang bikin saya jadi gak terlalu pengen jadi tukang cabe kalau gak diminta, karena itu tadi: gak semua orang mau diapresiasi dengan kritik. :D Dan untuk orang yang belum terbiasa, kritik itu bisa mematikan semangat. Duh, jadi susah kan? Pernah ketemu orang yang nangis-nangis trus bersumpah gak mau nulis lagi sehabis dikritik soalnya. T_________T

    ReplyDelete
  5. saya juga suka keripik. Dulu awal saya kirim ke media, seorang teman saya bilang saya cocoknya nulis parenting nulis curhat, padahal saya pengen banget nulis opini kritikan itu saya jadikan motivasi sampe akhirnya sebuah opini saya muncul di majalah Potret. Dan kali ini target saya bikin cerpen dan satu buku , saya makan semua kripik agar saya bisa menghasilkan sebuah menu cerpen/buku istimewa . Ganbatteeee

    ReplyDelete
  6. manda juga seneng banget kalo dikritik, berarti tulisan kita dibaca :D
    malah sedih kalo gak ada yg kritik, berarti gak ada yg bner2 perhatian sama tulisan kita :D
    kalo mengkritik masih kurang pe-de, ilmunya masih kurang. hehe :D

    ReplyDelete
  7. Suka sih kalau dikritik. Tapi ya liat kritikannya juga sih. Kalau membangun okelah, kalau menjatuhkan ya BIG NO NO. Paling males lagi kalau kritikannya nggak beretika bin kasar. Isshhh langsung hancur hati bacanya :D

    ReplyDelete
  8. @mak carra. yang mau kritik dirimu pada takut. secara udah jago, bawa golok juga :D *lospokus*

    kritik? artinya kita harus lebih baik lagi dalam pembuatan draft, penyusunan kalimat, kelogisan cerita, dan kejelian waktu proses editing. ada yang bilang kemaren di grup, saat buat FF, ga perlu pakai draft. padahal, panjang atau pendek sebuah tulisan, itu butuh draft. karena dengan draft, kita akan tahu kelemahan tulisan kita. dan akan mengurangi kritik pedas waktu udah dipublish. :)

    ReplyDelete
  9. tulisanku belon pernah dikritik nih

    ReplyDelete
  10. aku jarang bisa mengkritik jalan cerita atw cara penyampaian mbakyu, coz menurutku fiksi itu sebuah karya yg jujur, jadi walopun di kepalaku ngerasa 'aneh', kadang aku biarkan krn mungkin (sekali lagi mungkin), itulah cara si penulis menulis.

    Tapi sedang mencoba berani mengkritik demi kebaikan sih, coz aku jg kan suka suka bgt menerima kritikan hihihihi. dan sepakat sama dirimu, kita sbg penulis sah2 saja memfollow up atw tidak kritikan yg masuk kalau tidak sreg di hati :)

    eyampun panjang bgt komen eike cyiiin *lgsg mlipir*

    ReplyDelete
  11. kalo saya mengkritik, saya berusaha untuk memakai bahasa yang halus, kalo ada yang gak pas soal EYD ato padatnya kalimat, saya beri contoh versi saya.

    Dan soal dikritik, siaaaap menerima kritikan,tapi kadang ada beberapa kritikan yang saya oke-in dan tidak.

    ReplyDelete
  12. aku gak bisa mengkritik tapi siap menerima kritik.
    yaap memang rasanya asem sangat kalo dikritik, tapi itu sangat membantu untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

    tapi sebaik-baik kritikan yg diberikan, kritikan yang membangun itu lebih baik dari pada kritikan yang menjatuhkan.

    ReplyDelete
  13. Siaaap..! :)

    ReplyDelete
  14. Tujuan saya masuk Ke MFF karena memang mau belajar, saya mau maju, pengen nerima komentar yang bukan hanya sekedar wah keren, ih bagus dll, sungguh saya justru berharap di kasih tahu kelemahan dan poin kesalahan pada tulisan saya.

    seperti saat Mbak Latree kasih komen, "belajar memperbaiki kalimat ya". saya seneng banget, dikritik itu berarti kita diperhatikan dan org yang mengkritik otomatis baca beneran tulisan kita.

    saya justru minta tolong, beri saya kritikan dan masukan yang membangun, karena itulah tujuan saya masuk MFF, mau belajar :)

    ReplyDelete
  15. ups maksud saya tadi, bukan mbak Latree tapi masukan dari Mbak Red Carra tentang merapihkan kalimat hehe.. dan setelah saya cek pada tulisan saya waktu itu, memang banyak titik koma dan huruf kapital yang belum benar. Makasih ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama ^^

      Kita di sini semuanya belajar, penerimaan terhadap kritik juga jadi salah satu pembelajaran.

      Yuk, belajar lagi dan menulis terus!^^

      Delete